Senin 29 Nov 2021 10:46 WIB

Konsumsi Rokok Selama Pandemi Masih Tinggi

Perokok di Indonesia banyak pula dari kalangan remaja yang masih sekolah.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Rokok (ilustrasi)
Foto: picpedia.org
Rokok (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Agus Suprapto mengatakan, pada pandemi seperti ini rokok masih menjadi konsumsi yang besar. Khususnya, di Indonesia.

Ia menerangkan, konsumsi rokok selama pandemi masih sangat besar. Sejak ada kebijakan pemerintah membatasi mobilitas masyarakat konsumsi rokok tercatat terus naik. Indonesia jadi negara prevalensi konsumsi rokok tinggi di dunia.

Agus mengingatkan, perokok di Indonesia banyak pula dari kalangan remaja yang masih sekolah. Data Kemenko PMK 18,8 persen pelajar 13-15 tahun perokok aktif, 57,8 persen pelajar perokok aktif dan 60 persen tidak dicegah saat beli rokok.

Menurut Agus, adanya iklan-iklan rokok turut berpengaruh kepada keterpaparan rokok kepada anak-anak remaja. Apalagi, saat ini sudah sangat umum dilakukan pembelajaran daring, anak banyak habiskan waktu dengan perangkat elektronik.

"Maraknya iklan rokok di platform digital juga mempengaruhi ketertarikan remaja terhadap rokok," kata Agus dalam talkshow Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN), Sabtu (27/11).

Data London School of Public Relations (LSPR), terpaan iklan rokok lewat media daring memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Bahkan, 100 persen remaja yang merokok akan tetap merokok setelah melihat iklan rokok.

Kemudian, 10 persen remaja memiliki kecenderungan untuk merokok justru setelah melihat iklan rokok. Sejauh ini, Kemenko PMK sendiri telah melakukan berbagai pengendalian konsumsi tembakau antara lain dengan physical dan nonphysical.

Untuk langkah-langkah physical yang dilakukan seperti penyusunan tarif cukai dengan cara menjaga afordabilitas harga agar tidak terjangkau perokok pemula. Kemudian, penyederhanaan struktur tarif dan melakukan kebijakan mitigasi.

Kebijakan mitigasi tersebut mengatur 50 persen Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Digunakan untuk program kesejahteraan masyarakat, termasuk mitigasi dampak kenaikan cukai bagi petani tembakau dan buruh pabrik rokok.

Kebijakan non-physical mengembangkan lingkungan sehat dan pelaksanaan regulasi kawasan tanpa rokok, perluas layanan berhenti merokok target 40 persen faskes tingkat I di 300 kabupaten/kota dan meminta bansos tidak untuk membeli rokok.

Selain itu, Agus mengingatkan, ini menjadi peran bersama, tidak cuma peran pemerintah. Karenanya, kita bisa memulai peran sederhana dalam pengendalian konsumsi rokok dengan mengedukasi keluarga, khususnya yang masih usia remaja.

"Semoga dengan adanya agenda ini kita mampu mencari sudut baru dalam permasalahan konsumsi rokok, terutama kepada remaja," ujar Agus.

Bertepatan Hari Kesehatan Nasional 2021, MTCN memberikan beberapa rekomendasi terkait pengendalian konsumsi rokok. Antara lain menegaskan pelarangan total iklan, promosi dan sponsor rokok di media cetak, luar ruang daring dan digital.

Mendukung presiden mengesahkan revisi PP 109/2012 dan konsisten menaikan cukai rokok sebagai perlindungan anak dari bahaya rokok. Menambahkan pasal pelarangan total promosi di pergub, perda, perwali dan perbup tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Memasukkan penurunan jumlah perokok anak sebagai indikator Kota Ramah Anak. Memasukkan penegakkan Perda KTR sebagai evaluasi keberhasilan daerah. Lalu, menghubungkan dampak pengendalian tembakau terhadap kondisi kesehatan.

Serta, integrasi layanan berhenti merokok terhadap perokok. Mengembangkan sikap strategis intervensi penanggulangan kepada kelompok prevalensi perokok terbesar yaitu laki-laki dan anak-anak. Penurunan prevalensi merokok berbasis perilaku.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement