REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Pengamat petanian Universitas Brawijaya (UB) Malang, Sujarwo Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 10 tahun 2022 bukanlah untuk menghapus subsidi pupuk. Sujarwo mengaku tidak melihat indikasi Permentan tersebut mengarah pada penghapusan pupuk bersubsidi.
Menurutnya, kebijakan tersebut hanya mengatur Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.
Wakil Dekan Fakultas Pertanian UB Malang itu menyatakan, Permentan 10 tahun 2022 mengatur tentang pola distribusi pupuk bersubsidi yang menentukan alokasi pupuk Urea dan NPK per provinsi. Berdasarkan alokasi tersebut kemudian dilakukan pendistribusian pupuk subsidi ke kabupaten sampai ke tingkat kecamatan.
"Ada dasar-dasar pertimbangan dalam pengalokasian pupuk per provinsi dan juga per kabupaten, utamanya terkait dengan penggunaan data spasial lahan petani, penetapan LP2B, dan serapan pupuk subsidi tahun sebelumnya," kata Sujarwo di Surabaya, Senin (5/9).
Sujarwo melanjutkan, lewat Permentan nomor 10 tahun 2022 pemerintah ingin mengatur pola distribusi pupuk sehingga pupuk bersubsidi tepat sasaran. Tetapi, kata Sujarwo, sektor pertanian memiliki kerentanan yang tinggi atas ketidaktepatan waktu dan ketidaktepatan jumlah pupuk. Selain itu, pola pendistribusian dengan pengalokasian dari tingkat pusat ke provinsi, kabupaten, hingga tingkat kecamatan tentunya akan memakan banyak waktu dan membutuhkan koordinasi yang tinggi.
"Belum lagi jika ada permasalahan berupa ketidaksesuaian di e-RDKK yang sangat berpeluang terjadi, sehingga berdampak pada salah sasaran distribusi pupuk bersubsidi," ujarnya.
Maka dari itu, sambung Sujarwo, perlu ada terobosan dengan memanfaatkan teknologi informasi maju untuk monitoring pendistribusian dan verifikasi penyaluran pupuk bersubsidi. Artinya pendistribusian dan verifikasi harusnya tidak lagi dilakukan secara konvensional, tetapi harus udah secara digital.
"Simplifikasi proses dan monitoring yang memadai dengan melibatkan teknologi informasi akan mereduksi signifikan perilaku menyimpang dari aktor terlibat. Karena secara digital proses terekam dengan baik sampai pada level petani," kata Sujarwo.
Terkait pembatasan pupuk yang hanya berfokus pada Urea dan NPK, menurutnya itu merupakan hasil pengkajian signifikansi kedua jenis pupuk ini dalam menunjang produksi komoditas strategis. Namun perlu diingat, bahwa semakin intensif aplikasi pupuk kimiawi ini akan berdampak pada tanah tersebut.
Artinya, lanjut Sujarwo, pupuk organik bisa menjadi solusi efektif yang bisa diterapkan agar petani dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pupuk kimia bersubsidi. Ia menjelaskan, pupuk urea berdampak pada penurunan PH tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada unsur hara tersedia bagi tanaman.
"Sehingga, untuk mengejar produksi yang sama dari areal yang sama akan dibutuhkan pupuk dalam jumlah yang lebih tinggi," ujarnya.
Oleh sebab itu, kata Sujarwo, petani pun perlu untuk dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimiawi dengan secara rutin pula menambahkan pupuk organik. Tujuannya agar dapat menjaga produktivitas dengan mereduksi sekecil mungkin gangguan stabilitas kimiawi, fisik, dan biologi tanah.
"Dengan demikian, pertanian berlanjut dari sisi kelestarian sumber daya dapat dipertahankan," kata Sujarwo.