Selasa 13 Sep 2022 19:01 WIB

Wali Kota Malang Tanggapi Masalah Mata Air Sumber Pitu

Terdapat lima poin yang menjadi tuntutan warga dan petani di sekitar Sumber Pitu.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Peserta mengikuti kirab Tradisi Iriban Tuk Ruwat Rawat Patirtan di Cabean Kunti, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (4/8/2022). Tradisi Iriban Tuk yang telah dilakukan turun temurun oleh warga setempat itu bertujuan untuk bersama-sama penyelamatan ekosistem guna konservasi sumber mata air Sumur Pitu yang telah masuk sebagai cagar budaya nasional.
Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Peserta mengikuti kirab Tradisi Iriban Tuk Ruwat Rawat Patirtan di Cabean Kunti, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (4/8/2022). Tradisi Iriban Tuk yang telah dilakukan turun temurun oleh warga setempat itu bertujuan untuk bersama-sama penyelamatan ekosistem guna konservasi sumber mata air Sumur Pitu yang telah masuk sebagai cagar budaya nasional.

REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Wali Kota Malang, Sutiaji memberikan tanggapan terkait masalah mata air Sumber Pitu di Kabupaten Malang. Hal ini diungkapkan mengingat Sumber Pitu digunakan sebagai sumber air di Perumda Tugu Tirta Kota Malang (PDAM).

Perumda Tugu Tirta Kota Malang sendiri dianggap telah menunggak biaya operasional Sumber Pitu selama beberapa waktu. Mengetahui hal tersebut, Sutiaji menegaskan, pihaknya sebenarnya telah memiliki keinginan untuk membayar biaya operasional Sumber Pitu.

Baca Juga

"Kita niatannya niat baik. Ingin meluruskan ketika kita bayar itu sudah harus ada perintah bayarnya. Saat ini kan belum ada perintah bayar untuk sumber Pitu itu," ucap Sutiaji kepada wartawan seusai apel di halaman Pasar Besar (Pasbes) Kota Malang, Selasa (13/9/2022).

Berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) pemanfaatan air di Sumber Pitu antara 2016 hingga 2021, Perumda Tugu Tirta Kota Malang harus membayar Rp 600-an per liter. Namun perjanjian ini telah berakhir sehingga terjadi kekosongan. Ketika momen tersebut terjadi seharusnya langsung didiskusikan kembali tetapi justru tidak ada sama sekali.

Sutiaji mengingatkan terdapat UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang harus dipatuhi. Aturan tersebut menyebutkan masalah air bukan kewenangan daerah. Sebab itu, dia berharap, permasalahan ini bisa diselesaikan sesegera mungkin.

"Kalau sudah ada (penyelesaian) berapapun yang harus dibayar sehingga kami per liternya kok harus bayar dengan Legal Opini (LO). Legal Opini itu bukan Rp 600 sekian tetapi mungkin Rp 1000, ya kita bayar. Mulai kapan? Mulai waktu kemarin yang tidak terbayar, mulai September sampai saat ini. Wong itu bukan uang saya dan Pak Edi (Wakil Wali Kota Malang). Uang itu uang rakyat, tidak mungkin kami lakukan apalagi itu untuk hajat hidup orang," jelas pria berkacamata ini.

Hal yang pasti, kata dia, pihaknya harus menunggu penyelesaian masalah yang belum terselesaikan. Jika semuanya selesai dengan baik, maka dia memastikan pihaknya akan menaati hal tersebut. Terpenting, dia hanya berusaha bertindak sebaik mungkin karena hal ini memiliki imbas hukum.

Ada pun mengenai penyegelan Sumber Pitu, Sutiaji tidak ingin memberikan komentar. Masyarakat tentu sudah tahu bahwa mata air itu penting untuk hajat hidup orang. Terlebih, dia mengingatkan bahwa sumber mata air tersebut pada dasarnya milik Allah SWT.

Sementara itu, Koordinator Tim Advokasi Forum Penyelamat Sumber Pitu, Zulham Akhmad Mubarrok mengatakan, pihaknya bersama sejumlah warga dan petani yang terdampak eksploitasi telah melakukan penyegelan di Sumber Pitu. Tandon di sumber tersebut disegel sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Lebih tepatnya ketika tuntutan-tuntutan yang diinginkan tercapai.

Menurut Zulham, terdapat lima poin yang menjadi tuntutan warga dan petani di sekitar Sumber Pitu. Pertama, menolak eksploitasi Sumber Pitu untuk kepentingan komersil Perumda Tugu Tirta Kota Malang semata. Kemudian meminta untuk mengkaji ulang ambang batas eksploitasi Sumber Pitu dengan debit yang tidak merugikan petani di 11 Desa terdampak. 

Tuntunan ketiga, yakni menyusun solusi alternatif bagi petani dan masyarakat yang selama ini menggunakan sumber air secara konvensional di aliran Kali Lajing dari hulu hingga hilir. Lalu meminta agar Perumda Tugu Tirta Kota Malang membayar kerugian materiil dan immateriil akibat eksploitasi Sumber Pitu yang telah terjadi sejak 2015 hingga 2022. Kerugian ini diperhitungkan mencapai Rp 66 miliar sehingga diharapkan bisa segera dibayarkan dan digunakan untuk fasilitasi warga dan petani terdampak. 

Terakhir, tuntunannya berkenaan dengan penolakam intervensi sepihak Wakil Gubernur Jatim, Emil Dardak yang terindikasi mendukung eksploitasi ilegal Perumda Tugu Tirta Kota Malang terhadap sumber air milik Kabupaten Malang. Dalam hal ini telah membiarkan pengambilan air tanpa membayar retribusi kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang. 

Zulham sendiri telah melakukan pertemuan dengan Emil Dardak, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas dan Kepala Dinas PU Sumberdaya Air Jawa Timur (Jatim). Pada pertemuan tersebut, dia telah memohon agar hak petani didahulukan sebelum adanya eksploitasi komersil sesuai dengan PP Nomor 121 Tahun 2015. Menurut Zulham, masukan-masukan tersebut telah diterima dan ditampung oleh Emil Dardak dan jajarannya.

Hal yang pasti, kata Zulham, pertemuan tersebut mengerucut pada banyak fakta dan temuan dari Sumber Pitu. Dalam hal ini ditemukan bahwa sejak pembangunan Sumber Pitu banyak kesalahan yang menabrak perundangan.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement