Senin 10 Oct 2022 17:59 WIB

Komnas HAM Dalami Dugaan Gas Air Mata yang Kedaluwarsa

Pemicu utama dinamika di lapangan berasal dari gas air mata.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Seorang pria melempar bunga di luar Stadion Kanjuruhan di mana sebuah injak sepak bola menewaskan lebih dari 100 orang pada hari Sabtu, di Malang, Jawa Timur, Indonesia, Selasa, 4 Oktober 2022. Seorang kepala polisi Indonesia dan sembilan perwira dicopot dari pos mereka Senin dan 18 orang lainnya sedang diselidiki karena bertanggung jawab atas penembakan gas air mata di dalam stadion sepak bola yang memicu terjadinya penyerbuan, kata para pejabat.
Foto: AP Photo/Dicky Bisinglasi
Seorang pria melempar bunga di luar Stadion Kanjuruhan di mana sebuah injak sepak bola menewaskan lebih dari 100 orang pada hari Sabtu, di Malang, Jawa Timur, Indonesia, Selasa, 4 Oktober 2022. Seorang kepala polisi Indonesia dan sembilan perwira dicopot dari pos mereka Senin dan 18 orang lainnya sedang diselidiki karena bertanggung jawab atas penembakan gas air mata di dalam stadion sepak bola yang memicu terjadinya penyerbuan, kata para pejabat.

REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku telah menerima laporan adanya dugaan gas air mata yang kedaluwarsa. Gas air mata ini terutama yang digunakan saat tragedi Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022) malam.

"Jadi soal yang kedaluwarsa informasinya memang kita dapatkan, ya. Tapi itu perlu pendalaman," kata Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam saat dihubungi Republika, Senin (10/10/2022).

Baca Juga

Hal yang paling penting, kata Choirul, dinamika di lapangan menjadi sesuatu yang utama untuk dilihat. Choirul tak menampik, pemicu utama dinamika di lapangan memang berasal dari gas air mata.

Menurut Choirul, gas air mata telah menimbulkan kepanikan sehingga banyak suporter Aremania yang berdesak-desakan ke pintu keluar. Saat itu para suporter sudah dalam keadaan sakit mata, sesak dada dan sebagainya. Sementara itu, pintu yang terbuka sangat kecil menimbulkan suporter saling berhimpitan sehingga mengakibatkan kematian.

"Jadi ekskalasi yang sudah seharusnya terkendali, kalau kita lihat secara cermat, itu kan terkendali sebenarnya tetapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Gas air mata yang menjadi pemicu utama adanya kematian bagi sejumlah korban," ungkapnya.

Aspek kedua, Komnas HAM juga memperhatikan masalah kuota stadion yang menjadi hal penting dalam kejadian ini. Kemudian juga mendalami masalah sistem pengawasan yang seharusnya sudah dilaksanakan dua hari sebelum pertandingan. Hal ini berarti termasuk pengawas yang berasal dari perangkat PSSI atau PT Liga Indonesia Baru (LIB).

Ada pun terkait kondisi korban, Choirul mengungkapkan, sebagian besar mengalami kejang-kejang, mata merah, sesak napas dan sebagainya. Namun di balik itu, Choirul menegaskan, hal yang paling itu adalah kerangka pengawasnya.

"Dalam konteks ini LIB atau PSSI yang pengawas seharusnya datang ke sana (lokasi pertandingan) dua hari sebelum hari H untuk memastikan bahwa penyelenggaraannya berjalan dengan baik.  Itu juga harus dilihat secara mendalam dan komprehensif," kata dia menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement