Selasa 03 Jan 2023 21:28 WIB

Membagi Beban Debit Air Kawasan Hilir Solusi Atasi Banjir Semarang

Saat ini, tampungan air alamiah juga banyak berkurang.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Warga bersama anaknya menerobos banjir di Kelurahan Trimulyo, Genuk, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (3/12/2023). Banjir di Kelurahan Trimulyo sudah memasuki hari ke-4, sebagian warga masih mengungsi di Masjid Jami Baitul Mannan. Ketinggian air masih di kisaran 40-60 centimeter. Imbas banjir ini sekolah terpaksa diliburkan.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Warga bersama anaknya menerobos banjir di Kelurahan Trimulyo, Genuk, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (3/12/2023). Banjir di Kelurahan Trimulyo sudah memasuki hari ke-4, sebagian warga masih mengungsi di Masjid Jami Baitul Mannan. Ketinggian air masih di kisaran 40-60 centimeter. Imbas banjir ini sekolah terpaksa diliburkan.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sampai hari ini, wilayah Kota Semarang masih menghadapi problem banjir, baik akibat intrusi air laut (rob) maupun banjir oleh lonjakan debit air karena curah hujan tinggi di musim penghujan.

Seperti halnya banjir yang disebabkan oleh cuaca ekstrim pada momentum pergantian tahun, masih menyisakan genangan di sejumlah wilayah di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini.

Terkait kondisi itu, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung (FT Unissula), Prof Slamet Imam Wahyudi melihat, infrastruktur yang sudah ada memang belum mampu mengantisipasi curah hujan yang kemarin turun.

Berdasarkan informasi dari BMKG, hujan yang turun dan akhirnya mengakibatkan banjir tersebut termasuk hujan ekstrim atau curah hujan di atas 150 milimeter.

“Terlepas dari itu, sistem pengendali banjir di Semarang dari sisi operasional belum cukup mampu mengatasi dengan curah hujan yang cukup ekstrim tersebut,” jelasnya, di Semarang, Selasa (3/1).

Termasuk tiga sistem polder besar di Kota Semarang, baik di wilayah timur, tengah, maupun barat. Khususnya polder besar yang berada di wilayah pesisir timur Semarang yang surutnya lebih lambat.

Terkait sistem drainase ini, ia melihat ada dua jenis yakni sistem terbuka dengan air laut dan ada yang tertutup dengan laut. Sebenarnya yang tertutup dengan laut ini sebenarkan tidak dikehendaki.

Karena saat air laut pasang beberapa wilayah tergenang rob, seperti wilayah sekitar Johar (Semarang tengah) hingga Bandarharjo, Tanah Mas (Semarang Utara), hingga Kemijen (Semarang Timur) sebelumnya selalu dilanda rob.

Maka untuk menghindari rob tersebut kemudian ditutup dan pengendalinya dengan sistem tampungan air dan pompa, termasuk di Kaligawe juga sama. “Kalau tidak ditutup, Genuk selalu rob terus, termasuk juga di Unissula, karena elevasinya lebih rendah dari air laut,” jelasnya.    

Sekarang ini dengan hujan yang cukup ekstrim, berarti sistem dari tampungan air dan sistem pompa yang bekerja. Terkait sistem tampungan air ini sebenarnya juga ada dua metode, yakni alamiah dan dibuat kolam retensi.

Namun, lanjutnya, tata guna lahan berkembang terus. Artinya tampungan alamiah juga banyak berkurang. Misalnya di kawasan Sawah Besar yang dulu tidak banyak bangunan, sekarang diuruk untuk bangunan baru, hingga tampungan alamiah terus berkurang.

Menurut dia, mengatur air itu ibarat mengatur kehidupan. Sehingga prinsip membagi beban bisa dilakukan. Misalnya dengan sungai-sungai yang masih bisa dimanfaatkan sebagaitampungan bisa ‘disudet’.

Misalnya sudetan saluran dari Majapahit (mulai dari Zebra, Pedurungan, hingga Pucang Gading) bisa dibelokkan ke Banjirkanal Timur. Sebab secara grafitasi masih dimungkinkan.

Sehingga minimal 20 hingga 30 persen air bisa yang menuju Tlogosari hingga sampai ke Kaligawe/Genuk atau beban air di kawasan hilir tersebut bisa dikurangi. “Ini sudah kita usulkan lama dan sudah ada perencanaan juga tetapi sampai saat ini belum dieksekusi,” kata dia.

Operasional pompa juga harus diperhatikan, misalnya memilih kualitas pompa yang bagus juga penting. “Kalau kualitas pompa bagus maka perawatan dan operasionalnya mudah,” ujarnya.

Selain itu juga penting kedisiplinan petugas penjaga pompa. Hal lain yang perlu diperhatikan terkait partsipasi masyarakat yang menurutnya masih kurang. Saat ini masyarakat jika ada banjir siapa yang ditanya masih bingung.

Maka apabila ada komunitas atau organisasi berbasis masyarakat untuk berpartisipasi dakam menjaga dan merawat drainase akan sangat bagus.

“Kalau irigasi kita sudah ada misalnya Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A), tetapi kalau drainase ini kita belum ada,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement