Sabtu 15 Apr 2023 14:42 WIB

Ribut Penolakan Sholat Idul Fitri di Pekalongan, Ketua PBNU Jelaskan Masalahnya

Gus Fahrur mewacanakan perlunya undang-undang tentang penetapan hari raya.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
Umat muslim menunaikan sholat Id 1443 H. Ribut Penolakan Sholat Idul Fitri di Pekalongan, Ketua PBNU Jelaskan Masalahnya
Foto: Prayogi/Republika.
Umat muslim menunaikan sholat Id 1443 H. Ribut Penolakan Sholat Idul Fitri di Pekalongan, Ketua PBNU Jelaskan Masalahnya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus masjid di daerah Pekalongan dikabarkan ditolak permohonan izinnya oleh otoritas daerah setempat untuk menggelar sholat Hari Raya Idul Fitri pada 21 April 2023. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menyampaikan pangkal persoalan tersebut.

Gus Fahrur berpandangan hal itu terjadi karena di Indonesia belum ada kesepakatan soal penetapan waktu ibadah puasa dan hari rayanya. Saat ini semua sudah sepakat tentang aturan pernikahan, haji, wakaf maupun zakat sehingga masing-masing telah memiliki peraturan perundang-undangannya.

Baca Juga

Misalnya, dia mencontohkan, nikah sirih secara fiqih itu sah, tetapi tidak boleh berdasarkan aturan pemerintah dan semua orang pun patuh mengikuti itu. Artinya, jika pemerintah menghendaki, tentu bisa membuat aturan serupa, termasuk dalam hal penetapan hari raya.

"Ada UU Wakaf, UU Pernikahan. Semua yang tentang syariah, zakat, wakaf, haji, kan ikut pemerintah. Hanya soal puasa, hari raya, yang belum sepakat dengan pemerintah," kata dia kepada Republika.co.id, Sabtu (15/4/2023).

Belum adanya kesepakatan itulah yang mengakibatkan terjadi perbedaan waktu hari raya, ataupun waktu dimulainya puasa Ramadhan. Gus Fahrur pun membandingkan situasi di Indonesia dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah.

Di negara-negara Timur Tengah, hak penetapan waktu hari raya termasuk pengumumannya itu hanya milik pemerintah. Maka, ketika pemerintah sudah mengeluarkan ketetapan tentang waktu hari raya, semua warga negara mengikuti keputusan pemerintah itu.

"Jadi pihak lain seperti ormas hanya mengabarkan tetapi tidak boleh menetapkan hari raya. Sehingga otoritas penetapan hari raya itu hanya berdasarkan keputusan pemerintah," kata dia.

Untuk Indonesia, Gus Fahrur tidak tahu persis apakah ada aturan yang melarang pihak lain menetapkan waktu hari raya. Jika aturan tersebut tidak ada sampai saat ini, sebetulnya pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membuatnya. Aturan semacam ini perlu dibuat langsung oleh pemerintah pusat.

Sebab, jika yang buat adalah pemerintah daerah, justru bisa menimbulkan keributan di tengah masyarakat, karena akan ada perbedaan hari raya antara satu daerah dengan daerah lain.

"Seharusnya larangan itu datang dari pemerintah pusat. Jika ini ditetapkan, semua wajib patuh. Kalau dari daerah pasti ribut," katanya.

Bahkan, Gus Fahrur mewacanakan perlunya membentuk undang-undang tentang penetapan hari raya, yang isinya menekankan hanya pemerintah yang berhak menentukan hari raya berdasarkan rukyat atau sidang itsbat yang disepakati.

"Ini bukan soal ormas A atau B, tetapi kalau pemerintah bikin aturan (tentang waktu hari raya) ya harus begitu," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement