Sabtu 20 May 2023 16:09 WIB

Kriminolog Apresiasi Ketentuan Baru Hukuman Mati di Indonesia

Ada justifikasi pemberian waktu 10 tahun sebagai masa percobaan dalam pidana mati.

Anggota Ombudsman RI Adrianus Eliasta Meliala (kanan) bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Jawa Barat Liberti Sitinjak (kiri) meninjau renovasi kamar tahanan saat melakukan kunjungan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Sukamiskin, Jalan A. H. Nasution, Kota Bandung, Jumat (20/12).
Foto: Abdan Syakura_Republika
Anggota Ombudsman RI Adrianus Eliasta Meliala (kanan) bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Jawa Barat Liberti Sitinjak (kiri) meninjau renovasi kamar tahanan saat melakukan kunjungan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Sukamiskin, Jalan A. H. Nasution, Kota Bandung, Jumat (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demi menghormati prinsip hak asasi manusia (HAM) dan martabat manusia, banyak negara di dunia menghapuskan pidana mati. Krimonolog Universitas Indonesia (UI), Prof Adrianus Meliala, menjelaskan, di Indonesia, saat ini, pidana mati diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menggantikan Wetboek van Strafrecht (WvS).

Dia menilai, ketentuan pidana mati yang disusun pemerintah dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 adalah langkah positif. Adrianus menilai, ada justifikasi terhadap pemberian waktu 10 tahun sebagai masa percobaan dalam pidana mati yang diatur dalam Pasal 100 UU Nomor 1 Tahun 2023.

"Dari aspek kriminologi, waktu 10 tahun merupakan waktu yang cukup untuk merehabilitasi seorang terpidana, khususnya bagi pelaku yang 'tergelincir' atau 'kalap' sewaktu melakukan tindak pidananya," katanya di Jakarta, Sabtu (20/5/2023).

Hanya saja, Adrianus memiliki catatan mengenai pelaksanaan evaluasi setelah masa percobaan tersebut. Menurut dia, perlu ada telaah yang objektif dalam mekanisme penerapan UU tersebut sehingga memberikan kemanfaatan bagi keberhasilan proses rehabilitasi para terpidana.

"KUHP baru mengatur perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup jika terpidana bersikap baik. Hal ini perlu diperjelas bagaimana pelaksanaannya, apakah nanti terintegrasi dengan TPP (Tim Pembinaan Pemasyarakatan) atau tidak," katanya.

Adrianus juga menekankan pentingnya peran pejabat pemasyarakatan di level teknis agar keputusan evaluasi dapat dilakukan secara objektif dan berbasis bukti. "Persoalan-persoalan ini perlu diatur dalam peraturan pelaksananya, terutama Peraturan Pemerintah tentang Pemasyarakatan atau bahkan perubahan terhadap Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru disahkan tahun 2022," ujarnya.

Pengurus Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra menambahkan, masa percobaan 10 tahun memberikan kepastian hukum bagi para terpidana mati. Sehingga mereka tidak tersiksa selama berada di tahanan selama menunggu masa eksekusi, yang di Indonesia umumnya tidak jelas kapan waktu pelaksanaannya.

"Ada kekosongan hukum untuk orang-orang yang eksekusinya dibatalkan, misalnya pada peristiwa pembatalan eksekusi mati di saat-saat terakhir kepada Mary Jane Veloso, seorang warga Filipina yang dibatal dieksekusi mati pada tahun 2015," ucap Awigra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement