REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Persoalan sampah yang masih menjadi masalah di perkotaan mendorong Pemerintah Kota Yogyakarta untuk terus memperkuat penanganan dari tingkat yang paling dasar yaitu rumah tangga. Salah satu upaya konkret yang kini dijalankan adalah implementasi program Mas Jos (Masyarakat Jogja Sadar Sampah), yang menekankan pemilahan dan pengolahan sejak dari sumbernya.
RT 18 RW 03 Patangpuluhan, Wirobrajan menjadi lokasi percontohan yang dipantau langsung oleh Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, Jumat (14/11/2025). Ia menilai pola pengelolaan sampah yang dijalankan warga RT 18 merupakan contoh ideal. Dengan 10 lubang biopori yang dibuat untuk membiasakan masyarakat memilah sampah organik, sistem ini diyakini dapat mengurangi beban sampah yang harus dibawa ke depo atau TPA.
"Ini adalah kegiatan pilot project pengolahan sampah di tingkat hulu yang dari, oleh dan untuk masyarakat," kata Hasto dalam acara Seremonial Pilot Project Penanganan Sampah Secara Sistematis, Jumat (14/11/2025).
Program ini, kata Hasto, merupakan bagian dari implementasi Mas Jos yang menekankan pemilahan sampah dari rumah. Menurutnya, kunci penyelesaian persoalan sampah kota bukan hanya pada teknologi atau perluasan fasilitas pembuangan, tetapi juga pada rekonstruksi sosial atau perubahan perilaku masyarakat sejak dari rumah.
Model yang dibangun di Wirobrajan ini layak menjadi percontohan kota pasalnya struktur penanganan yang ada disini lebih lengkap sehingga bisa maksimal dalam mengolah sampah secara mandiri.
"Ini implementasi program Mas Jos yang dari hulu harus betul-betul memilah dari rumah, kemudian diterjemahkan oleh warga masyarakat dengan berbagai macam model. Ya khusus model di sini tadi membagi ember warna hitam untuk organik, ember warna jambon untuk anorganik. Itu saya kira bagus sekali," ujarnya.
"Sistem seperti inilah yang akan menyelesaikan sampah di sekitar masyarakat. Saya kira sistem yang dibangun di sini bisa menjadi percontohan karena bisa menyelesaikan sampah di tingkat RT atau RW," ungkapnya menambahkan.
Hasto kemudian mengapresiasi langkah masyarakat RT 18 yang dinilai mampu menjalankan skema pengolahan sampah dari hulu secara mandiri. Menurutnya ini jadi salah satu bentuk perubahan sosial yang nyata dan harapannya dengan pola pengolahan seperti ini, sampah dapat tuntas di tingkat RT.
Ke depan, pihaknya juga akan terus mendorong implementasi serupa di wilayah lain.
"Harapan saya sampahnya selesai di tingkat RT. Butuh kesadaran," ujarnya.
"Kami terus bergerak dari RT ke RT, dari RW ke RW, sampah itu termanage dengan baik," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua RT 18 RW 03 Patangpuluhan, Asep Rinto, menjelaskan masyarakat di wilayahnya telah mulai menerapkan sistem pengumpulan sampah organik di biopori yang tersedia.
"Minimal 4 bulan (akan terlihat hasil bioporinya -Red), sementara ini, kami mencobanya satu lubang dulu, kalau sudah penuh baru di lubang yang lain. Ada 10 lubang biopori," ujarnya.
Sebagai tahap awal, setiap kepala keluarga (KK) akan dibekali satu ember sampah organik untuk memilah jenis sampah yang dihasilkan masing-masing rumah tangga. RT setempat juga akan melakukan uji coba selama satu hingga dua bulan dengan menimbang volume sampah, untuk mengetahui kapasitas setiap biopori.
"Minimal dua hari harus disetorkan ke lubang yang sudah disediakan," ungkapnya.
Asep menekankan pentingnya partisipasi dan edukasi warga dalam menjalankan program ini, mengingat hasil olahan dari biopori akan bermanfaat kembali bagi warga.
"Perlu kesadaran warga masing-masing tetapi kami berusaha beberapa kali sebelum ini mengadakan sosialisasi, sebagai bagian edukasi bagaimana caranya memilah sampah. Ini tinggal action saja," katanya.
Sekretaris RT 18 RW 03 Patangpuluhan, Furqon, menambahkan pengelolaan sampah di wilayah tersebut kini berjalan lebih sistematis. "Penanganan sampah di wilayah kami ada 10 biopori titik. Kami sudah mulai memilah antara sampah organik atau anorganik baik itu untuk sampah organik kami masukan di 10 titik yang kami siapkan, yang mana nanti secara teknisnya satu sumur penuh baru ke sumur berikutnya," ucapnya.
Setiap KK, lanjutnya, akan mendapatkan dua ember untuk memisahkan sampah organik dan anorganik. Pengolahan hasil biopori juga telah terjadwal dimana pengolahan kompos berlangsung setiap empat bulan, sementara monitoring akan dilakukan bulanan.
"Kami memastikan bahwa semua sampah terpilah," ujarnya.