Selasa 11 Apr 2023 07:43 WIB

Rendahnya Partisipasi Anak Muda Timbulkan Potensi Kecurangan Pemilu

Hak pilih yang seharusnya terisi menjadi kosong (golongan putih).

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Pemilu (ilustrasi)
Foto: Republika/Musiron
Pemilu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Partisipasi politik dari anak muda menjadi bagian terbesar dari porsi pemilih di Indonesia. Hal ini juga sangat penting untuk memperkuat bangunan demokrasi di negeri ini.

Meski demikian, partisipasi generasi muda dalam pemilu diketahui masih cenderung rendah. Hal itu mengundang perhatian dan aspirasi dari dosen Fakultas Hukum UMM, Sholahuddin Al Fatih. Salah satunya ia sampaikan dan diskusikan di dalam program Democracy Defenders Accelerator (DDA) Bootcamp, 27 Maret 2023 di Estonia.

Pria disapa Fatih ini mengatakan, rendahnya partisipasi anak muda dalam pemilu membuat kemungkinan kecurangan menjadi lebih besar. Hal ini karena hak pilih yang seharusnya terisi menjadi kosong (golongan putih). "Sehingga bisa dicurangi oleh beberapa pihak," katanya.

Keresahan Fatih itu diskusikan dengan 30 perwakilan dari berbagai negara di dunia. Program yang diikuti Fatih tersebut masih akan terus berlanjut hingga November tahun ini melalui pertemuan.

Adapun tujuan program ini yaitu mendukung dan memberdayakan lebih banyak orang untuk mengambil tindakan dalam menghadapi persoalan demokrasi yang ada di dunia. Selain itu, juga sebagai wadah aktivis muda untuk berbagi cerita terkait persoalan demokrasi di negara masing-masing.

Lebih lanjut, Fatih mengungkapkan permasalahan demokrasi yang ada Indonesia justru tidak ditemukan di negara lainnya. Ia menemukan bahwa Jerman memiliki permasalahan demokrasi terkait konflik ras di pemerintahanya.

Kemudian Belanda dengan masalah digitalisasi demokrasinya dan  Afganistan memiliki persoalan terkait keadilan berpendapat. Dari hasil diskusi, ditemukan permasalahan utama yang ada di berbagai negara yaitu tentang kurangnya kesadaran anak muda di dunia dalam menggunakan media sosial.

Permasalahan itu menjadi fokus untuk dikerjakan selama satu tahun ke depan. Melalui program ini, Fatih mengaku , ada banyak hal baru yang didapatkan. "Insya Allah bisa saya implementasikan sebagai model pembelajaran di kelas. Kemudian wawasan saya tentang demokrasi juga bertambah,” ungkap Fatih.

Ia berharap akan ada lebih banyak dosen dan juga mahasiswa yang berpartisipasi dalam kegiatan sejenis. Selain itu, dosen sekaligus staf bagian kerja sama internasional itu juga menyampaikan sedang melakukan penjajakan agar UMM dan NGO Citizen OS bisa bekerja sama.

"Tidak hanya dengan NGO terkait tetapi juga bisa melakukan kerja sama dengan beberapa kampus di Estonia," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement