REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kepala Bidang Politik Dalam Negeri dan Organisasi Masyarakat Kesbangpol Kota Yogyakarta, Widyastuti mengatakan masih ada tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang di Kota Yogyakarta.
Setidaknya, ada empat hal yang menurutnya menjadi tantangan besar yakni tentang politik ulang, politisasi SARA, politik identitas, dan hoaks (berita bohong). Ia menekankan bahwa tantangan ini harus ditangani bersama menjelang Pemilu 2024.
"Tantangan itulah yang harus kita upayakan untuk tangani bersama agar kampanye dapat dilakukan dengan cara-cara yang santun dan cerdas, sehingga Pemilu damai di Kota Yogya bisa tercapai," kata Widyastuti belum lama ini.
Terlebih, Widyastuti menyebut bahwa diperkirakan 60 persen pemilih pada Pemilu 2024 merupakan generasi muda atau milenial. Untuk itu, ia juga menekankan bahwa ada hal yang harus menjadi perhatian penting.
"Yaitu tentang kemampuan menggunakan media digital, agar pendidikan politik dan kampanye digital dapat berjalan dengan damai," ujarnya.
Menurutnya, kemampuan mengolah konten, menyampaikan informasi melalui media digital sangat penting di Pemilu 2024. Dengan begitu, seluruh elemen yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu harus memiliki tanggung jawab dalam membangun kecerdasan politik masyarakat.
"Pemerintah, KPU, Bawaslu, Parpol, kita semua, memiliki tanggung jawab untuk ikut membangun kecerdasan politik masyarakat. Terutama dalam mengkampanyekan anti hoaks pada diri kita sendiri, keluarga, dan sekitar, apalagi di media digital yang penyebaran informasinya sangat cepat," jelas Widyastuti.
Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian (Diskominfosan) Kota Yogyakarta, Ignatius Trihastono menyebut bahwa media digital khususnya media sosial bukan satu hal asing bagi sebagian besar masyarakat Kota Yogyakarta.
"Pemilihan media kampanye tentu harus disesuaikan dengan segmentasi siapa yang akan disasar, termasuk pada media digital. Maka, kecakapan digital untuk membuat dan mengkomunikasikan konten atau informasi yang edukatif dan positif harus dikuasai secara kognitif juga teknis," kata Trihastono.
Begitu pun dengan pemilu dan rangkaiannya, yang pada dasarnya juga merupakan satu tahapan yang sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat, tinggal bagaimana pelaksanaan pesta demokrasi ini dapat terwujud dengan damai. Dengan begitu, katanya, pemilu tidak hanya dibebankan pada penyelenggara dan peserta saja.
"Pada rangkaian pemilu termasuk kampanye melalui media digital dan secara langsung, tentu diperlukan upaya dan peran masing-masing dari penyelenggara, peserta, dan masyarakat untuk secara kolektif bisa membangun kondisi pemilu mulai dari proses hingga hasil, lebih sahih dan damai, serta lebih asik dan bermartabat," ujarnya.