REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Izzati Muhimmah (Pusat Studi Informatika Medis UII, Anggota Bidang Kominfo ICMI DIY)
Pada 18 Juli 2023 lalu, Biro Pusat Statistik (BPS) merilis data Angka Kematian Ibu (AKI) hasil Long Form Sensus Penduduk (SP) 2020. Dari laporan tersebut, rata-rata AKI secara nasional adalah 189 dengan rate tertinggi 565 terjadi di Provinsi Papua dan rate terendah di Provinsi DKI Jakarta yaitu 48.
Capaian secara nasional tersebut masih memprihatinkan mengingat target Sustainable Development Growth AKI yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) adalah 70 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2030.
Para ibu bisa meraih jenjang syahid apabila meninggal saat melakukan persalinan. Namun, kematian ibu merupakan tragedi besar bagi keluarga dan masyarakat. Sehingga memastikan AKI yang rendah merupakan cermin kemajuan suatu bangsa. Mengapa demikian?
Kehamilan adalah proses biologis kompleks yang melibatkan banyak perubahan fisik dan hormonal dalam tubuh seorang wanita. Perubahan ini ada yang dapat dikatakan sebagai proses 'kehamilan normal'. Namun, tetap saja ada sejumlah kondisi atau ketidaknyamanan yang umum terjadi, misalnya: morning sickness, kelelahan, sakit punggung, kaki bengkak, sembelit, refluks asam, varises, stretch marks, perubahan mood, kesemutan dan nyeri pada tangan, insomnia, Infeksi Saluran Kemih (ISK), hingga kekurangan kalsium.
Peran posyandu
Kondisi di atas adalah bagian normal dari kehamilan dan tidak perlu dikhawatirkan. Namun, penting bagi wanita yang sedang hamil untuk menjadwalkan dan menghadiri kunjungan prenatal secara teratur dengan penyedia layanan kesehatan yang berpengalaman dalam perawatan kehamilan. Kunjungan ini memungkinkan identifikasi dan pengelolaan awal dari potensi masalah kehamilan risiko tinggi dan memberikan kesempatan untuk pendidikan dan dukungan selama proses kehamilan. Di Indonesia tersedia layanan kunjungan prenatal ini pada tingkat posyandu sebagai pengawal kehamilan terdekat.
Program posyandu untuk ibu hamil meliputi pemeriksaan kehamilan, pantauan pertumbuhan janin, rujukan medis, konseling dan edukasi, suplementasi nutrisi (yaitu pemberian protein hewani dan tablet tambah darah), dukungan psikososial, persiapan melahirkan, dan menggalang keterlibatan komunitas. Program ini merupakan kepanjangan tangan dari puskesmas, yang melibatkan peran aktif dari kader posyandu dengan supervisi dari bidan wilayah. Apabila sistem ini bekerja secara ideal, program posyandu ini dapat berkontribusi signifikan dalam mengurangi angka kematian dan morbiditas yang terkait dengan kehamilan dan kelahiran.
Pada saat jadwal rutin kegiatan posyandu, para kader posyandu akan mempersiapkan timbangan, meteran, tensi meter, laptop, dan nutrisi siap distribusi bagi ibu hamil yang datang. Alat kerja berupa laptop pun diperlukan untuk mengisi minimal enam borang sesuai buku panduan Posyandu yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI, khususnya borang K4.
Jadi, kader posyandu yang sukarelawan ini harus luwes, teliti, dan fleksibel sehingga proses layanan kesehatan untuk mengawal kehamilan ibu-ibu di wilayah dusunnya dapat terselenggara dengan lancar dengan data prenatal tercatat dengan benar dan lengkap.
Lengkap dan validnya data prenatal pun penting dalam pelaporan ke puskesmas. Di tingkat puskesmas, data ini dapat digunakan untuk identifikasi kehamilan risiko tinggi oleh dokter Puskesmas dan perencanaan program kelas ibu hamil. Sayangnya, mencapai kelengkapan data prenatal ini tidak mudah.
Kunjungan ke posyandu oleh ibu hamil (K4) secara nasional berdasar Profil Kesehatan 2021 adalah 88,8 persen. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, angka kunjungan ibu hamil lebih rendah dari capaian tingkat nasional yaitu 66 persen. Perlu diapresiasi bahwa secara nasional ibu hamil yang patuh untuk memeriksakan diri sebanyak empat kali selama masa kehamilan melebihi target nasional 85 persen. Namun, sebenarnya K4 ini masih lebih rendah dari rekomendasi WHO untuk Ante Natal Care (ANC) sebanyak delapan kali.
Sistem komprehensif
Rendahnya data prenatal pada tingkat masyarakat ini akan menyulitkan dalam perencanaan intervensi dalam mengupayakan keselamatan ibu hamil dan bayi yang di kandungnya. Bidan wilayah akan gamang merencanakan misalnya kelas ibu hamil. Parahnya lagi, dengan absennya data prenatal, kondisi kegawatdaruratan ibu hamil tidak teridentifikasi. Sehingga, kematian ibu hamil karena pendarahan tidak dengan sigap bisa diselamatkan karena tidak ada sistem alarm yang dapat diakses oleh ibu hamil dan tidak ada sistem pertolongan pertama yang tersedia setiap saat.
Meski tidak baik membanding-bandingkan, mari kita tengok layanan bagi ibu hamil di negara-negara Skandinavia yang mempunyai rata-rata AKI 7,2 per 100 ribu kelahiran hidup. Sebagai ilustrasi di Norwegia, layanan perawatan kehamilan sangatlah komprehensif yang mencakup pendidikan kehamilan, dukungan untuk menjaga kesejahteraan mental ibu hamil, dan akses ke perawatan berkualitas tinggi.
Selain itu, terdapat sistem yang memastikan bahwa layanan kehamilan dapat diakses oleh semua orang, terlepas dari pendapatan atau lokasi. Ini termasuk perawatan di daerah pedesaan dan untuk komunitas yang terpinggirkan.
Dengan kata lain, untuk menurunkan AKI kita perlu secara bersama-sama membangun sistem perawatan kehamilan yang komprehensif. Sistem ini membutuhkan orkestrasi dan kolaborasi banyak pihak.
Ibu hamil secara pribadi harus mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar mengenai pendidikan kehamilan dan disiplin melakukan pemeriksaan kehamilan minimal empat kali. Adapun suami harus selalu siaga dan menjadi pendukung utama kesejahteraan dan kesehatan mental ibu hamil.
Sedangkan para kader posyandu, sebagai sahabat terpercaya dan terdekat bagi ibu hamil, bidan wilayah, Puskemas, serta Panewu sudah seharusnya menjadikan AKI sebagai indikator kinerja. Akses yang cepat saat terjadi kegawatdaruratan medis (sistem alarm terintegrasi yang melibatkan ambulan desa menuju fasilitas kesehatan) dan sistem perawatan pasca-kehamilan bagi pasangan yang jauh dari keluarga besar (kraamzorg) adalah hal-hal yang masih perlu diupayakan bersama.