Sabtu 19 Aug 2023 06:18 WIB

Produk Gula Jawa Triwidadi Bantul, Laris Tapi Minim Regenerasi Penderes Nira

Usaha pembuatan gula jawa nira ini sudah dilakukan turun-temurun.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Gula jawa hasil produksi perajin di Triwidadi Bantul, DIY.
Foto: Idealisa Masyrafina
Gula jawa hasil produksi perajin di Triwidadi Bantul, DIY.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Kalurahan Triwidadi merupakan sentra utama pemasok kebutuhan gula jawa di Kabupaten Bantul dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sayangnya saat ini, penderes atau penyadap nira di wilayah ini terus berkurang karena kurangnya minat para pemuda meneruskan usaha ini.

Di sini, gula jawa diproduksi asli berbahan dasar nira atau air manis yang berasal dari bunga kelapa yang masih kuncup. Produksi gula jawa nira ini masih tradisional dan menggunakan batok kelapa sebagai cetakannya.

Proses pembuatan gula jawa ini dimulai dengan menyadap nira dari kuncup kelapa. Selanjutnya hasil sadapan tersebut dimasak dengan api besar hingga mengental.

Agar nira yang dimasak tidak menguap, adonan ditaburi dengan parutan kelapa, lalu diaduk kembali beberapa menit. Setelah mengental dan berwarna kecokelatan, selanjutnya dicetak menggunakan batok kelapa.

Diperlukan waktu sekitar dua jam dari dimulai hingga proses pencetakan gula jawa. Hasil pengolahan bisa disesuaikan dengan tekstur gula jawa yang akan dihasilkan.

Jika ingin mendapat gula jawa yang empuk, maka proses pengolahan dan pengadukan di atas api tidak terlalu lama. Namun jika menginginkan hasil gula jawa yang keras, maka proses pengadukan dan pengolahan di atas wajan harus diperlama.

Tidak hanya dijadikan sebagai gula jawa, nira bisa dijual menjadi legen maupun diolah untuk kemudian dijadikan gula jawa. Pada saat musim panas, legen akan terjual lebih laris.

Lurah Triwidadi, Slamet Riyanto mengatakan, jumlah perajin gula jawa yang terbagi dalam lima kelompok padukuhan di Kalurahan Triwidadi mencapai 200 orang. "Dalam sehari, produksi gula jawa bisa mencapai dua hingga tiga ton," kata Slamet.

Menurutnya, permintaan akan kebutuhan gula jawa terus ada dan potensi nira yang disadap dari pohon kelapa di kalurahan ini cukup besar. Akan tetapi jumlah perajin gula jawa kian menurun.

Sebab, ungkapnya, penyadap nira kelapa saat ini mayoritas adalah orang tua. Tidak adanya regenerasi penyadap nira dikarenakan penghasilannya rendah dan tak menentu.

Apalagi faktor risiko keselamatan yang cukup tinggi juga menjadi pemicu mereka enggan untuk bekerja menyadap nira. Slamet menambahkan, untuk meminimalkan risiko kerja dari aktivitas menyadap nira kelapa, sudah pernah ada program penanaman pohon kelapa rendah dan pemberian sabuk pengaman kepada para penyadap nira.

"Namun kendalanya pola kerja, katanya kalau pakai sabuk terlalu lama tidak fleksibel. Ini mungkin perlu diubah pola masyarakat. Selain itu diperlukan inovasi teknologi bagi penyadap nira ini,” ujar Slamet.

Ketua kelompok Tani Ngudi Mulyo, Rajiman (70 tahun) menyampaikan, usaha pembuatan gula jawa nira ini sudah dilakukan turun-temurun. Namun, ia mengakui bahwa produksi gula jawa saat ini tidak sebanyak pada zaman dahulu.

Hal itu dikarenakan langkanya para penyadap nira kelapa. Saat ini harga jual dari perajin sebesar Rp 15 ribu per kilogram untuk gula jawa dengan campuran gula pasir.

Sedangkan untuk gula jawa murni sebesar Rp 30 ribu per kg. Gula jawa ini dipasarkan ke pasar-pasar tradisional di wilayah Bantul, di antaranya juga mencapai pasar Kabupaten Sleman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement