Sabtu 16 Sep 2023 06:04 WIB

Awas Sindikat TPPO Online Scam Marak, Begini Modusnya

Animo masyarakat bekerja di luar negeri sangat tinggi.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
  Sekretaris Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kemenlu RI, Didik Eko Pujianto,  pada acara Diskusi Publik Pencegahan Tindak Pidan TPPO pada Sektor Judi Online Scam dan Upaya Perlindungan WNI di Luar Negeri, di Semarang, Jateng,
Foto: Dokumen
Sekretaris Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kemenlu RI, Didik Eko Pujianto, pada acara Diskusi Publik Pencegahan Tindak Pidan TPPO pada Sektor Judi Online Scam dan Upaya Perlindungan WNI di Luar Negeri, di Semarang, Jateng,

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Hati-hati dengan iklan maupun informasi perihal peluang kerja di luar negeri dengan iming-iming pendapatan (gaji) yang cukup tinggi, melalui berbagai media sosial (medsos).

Warga Jawa Tengah diimbau untuk tidak mudah tergiur dan harus lebih teliti, agar tidak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di negeri ‘seberang’.

Tidak sedikit korban TPPO yang awalnya tergiur oleh iming-iming gaji tinggi dan proses administrasi yang tidak berbelit-belit yang ditawarkan melalui medsos.

Misalnya menawarkan gaji tinggi bisa sampai 1.200 dolar AS (Rp18 juta) per bulan, belum lagi bonus yang bisa mencapai miliaran rupiah.

“Dari situ biasanya korban TPPO awalnya tertarik,” ungkap Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Provinsi Jateng, Ema Rachmawati, dalam acara Diskusi Publik Pencegahan Tindak Pidana TPPO pada Sektor Judi Online Scam dan Upaya Perlindungan WNI di Luar Negeri, di Semarang, Jumat (15/9/2023).

Ema juga menyampaikan, selama kurun waktu 2022- 2023, sebanyak 90 warga Jateng menjadi koban TPPO yang mulai marak sejak tiga tahun terakhir.

Mereka yang menjadi korban, umumnya juga ditempatkan di negara-negara berkembang seperti Filipina, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam.

Apalagi sejak pandemi Covid-19, kondisi perekonomian masyarakat banyak yang terpengaruh karena banyak korporasi dan usaha warga yang terdampak.

“Selain itu, gaya hidup yang hedonis dan flexing, kini menjadi sebab banyaknya masyarakat yang tergiur untuk bekerja di luar negeri melalui jalur yang tidak resmi,” ungkapnya.

Terkait dengan modus TPPO, Ema juga menyebut sangat beragam, mulai dari penjualan organ tubuh, penjualan bayi, juga online scam.

Dalam hal modus online scam, WNI yang direkrut diberi tugas untuk menipu orang lain lewat sarana media sosial, telepon, dan sebagainya.

Terkait hal ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng terus megupayakan berbagai langkah pencegahan, misalnya mengajak kepala desa untuk mengidentifikasi jika ada warganya kerja ke luar negeri.

Selain itu juga menyosialisasikan kepada masyarakat yang berminat bekerja ke luar negeri melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) atau Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). “Jangan sampai tergiur lewat medsos,” kata dia.

Pada kesempatan sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kemenlu RI, Didik Eko Pujianto menyampaikan, animo masyarakat bekerja di luar negeri sangat tinggi.

Oleh karena itu masyarakat juga tetap jeli dan selalu mengonfimsi lembaga resmi, mulai dari RT, RW, kecamatan, hingga Dinas Ketenagakerjaan setempat. “Cari informasi sebanyak-banyaknya, selalu ‘cek dan ricek’ terlebih dahulu,” ujarnya.

Menurutnya, negara yang biasanya digunakan sebagai tempat TPPO biasanya memiliki sistem hukum yang tidak kuat. “Selain itu negara-negara tersebut juga dalam situasi konflik,” jelas dia.

Salah seorang korban TPPO, nama disamarkan sebagai M, mengaku sempat terjebak sindikat TPPO karena mimpi bisa bekerja di Dubai. Kenyataannya ia dibawa ke Myanmar untuk melakukan online scam.

“Saya tergiur iming-imingi gaji 800 dolar AS (Rp 12 juta), ternyata dibawa ke Thailand dan kemudian disekap selama sembilan bulan di Myanmar dan dijaga oleh kawanan pemberontak bersenjata,” katanya.

Di Myanmar, M dipekerjakan untuk mencari korban online scam melalui aplikasi dating, seperti Tan-tan atau Mi-chat, untuk menipu orang-orang Indonesia.

Namun, ia menolak bekerja dan akhirnya dipulangkan setelah menghubungi KBRI di negara setempat. “Itu merupakan pengalaman buruk bagi saya,” tegas M.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement