Kamis 19 Oct 2023 16:15 WIB

Keragaman Otoritas Keagamaan dan Refleksi Ekonomi Syariah di Indonesia

Apa dampak keragaman otoritas keagamaan pada perkembangan ekonomi syariah?

Ekonomi syariah (ilustrasi)
Foto: aamslametrusydiana.blogspot.com
Ekonomi syariah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rizqi Anfanni Fahmi (Dosen Program Studi Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia; Mahasiswa Program Doktor Peradaban Islam UIN Raden Fatah Palembang) 

Keragaman merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, tak terkecuali dalam hal otoritas keagamaan. Secara sederhana, otoritas keagamaan merupakan individu atau kelompok yang diakui masyarakat untuk dapat memberikan pandangan dan keputusan terkait urusan keagamaan.  

Di Indonesia, organisasi-organisasi keislaman dianggap sebagai otoritas keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, ataupun ormas Islam lainnya. Pada skala yang lebih kecil, terdapat otoritas keagamaan dalam sosok ulama, ustaz, syeikh atau tokoh agama yang memiliki pemahaman yang mendalam terkait agama.

Pengakuan mendasar atas otoritas mereka didasarkan pada kedalaman wawasan keagamaan mereka. Satu hal yang pasti, sebuah otoritas keagamaan ialah mereka mampu membangun rekognisi jamaah sehingga mereka memiliki otoritas atas mereka dalam bidang agama.

Dalam konteks ekonomi syariah di Indonesia, yang dianggap selama ini paling otoritatif adalah MUI melalui Dewan Syariah Nasional. Sejak tahun 2000 hingga tulisan ini dimuat pada bulan Oktober 2023, DSN MUI telah memproduksi 156 fatwa, dimulai dengan fatwa tentang Giro dan yang terkini tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penyediaan Infrastruktur melalui Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) Berdasarkan Ketersediaan Layanan (Availability Payment).

Hal tersebut tidaklah mengherankan karena DSN MUI diberikan legalitas oleh aturan perundangan untuk menjadi otoritas yang berhak mengeluarkan fatwa terkait ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.  

Jika pada industri keuangan dan perbankan syariah DSN MUI memiliki otoritas kuat, namun hal tersebut belum tentu terjadi di kalangan masyarakat Muslim itu sendiri. Salah satu penyebabnya ialah keragaman otoritas keagamaan di kalangan umat Islam itu sendiri.

Entitas perbankan dan keuangan syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang menjadi perpanjangan tangan DSN MUI, namun di masyarakat ulama lokal justru lebih banyak dipercaya (Machasin, 2010). Bahkan di era "New Media", otoritas keagamaan memiliki kecenderungan bergeser pada penghasil konten yang ada di media, baik media sosial maupun media daring lainnya. 

Lalu, apa dampaknya pada perkembangan ekonomi syariah secara umum? Dampak positif dari keragaman otoritas keagamaan adalah adanya inovasi dan kreativitas dalam mengembangkan produk dan layanan ekonomi syariah yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masyarakat. Otoritas keagamaan dapat memberikan panduan, saran, dan rekomendasi yang berbeda-beda tergantung pada latar belakang dan pandangan mereka. Hal ini dapat meningkatkan variasi dan kualitas produk ekonomi syariah di Indonesia.

Dampak negatif dari keragaman otoritas keagamaan adalah adanya potensi perbedaan pandangan atas sebuah kasus ekonomi syariah. Misal, fatwa MUI jelas menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan. Namun, ada sebagian otoritas keagamaan lokal yang menyatakan bunga bank pada bank pemerintah bukan riba. Justru dikatakan bahwa fatwa MUI tersebut membuat masyarakat resah dan bingung. Tentu saja perbedaan mendasar pada argumen ekonomi syariah ini berdampak pada keyakinan masyarakat untuk menggunakan layanan perbankan berbasis syariah.

Jika merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), saat ini nasabah bank syariah mencapai 42 juta orang per Juni 2023. Jumlah ini hanya sepertiga jumlah nasabah BRI dan bahkan hanya sedikit di atas bank BCA. Mungkin sebagian menganggap tidak pas perbandingan ini mengingat kedua bank tersebut telah jauh lebih lama beroperasi. Data lain menunjukkan bahwa pangsa pasar keuangan syariah baru mencapai 10,94 persen dari total aset keuangan nasional. Artinya, dalam perjalanan 30 tahun keuangan syariah di Indonesia, pertumbuhan pangsa pasar keuangan syariah hanya bertumbuh 0,36 persen per tahun. Data tersebut belum berbicara tentang industri halal lainnya yang belakangan semakin tumbuh. Oleh karena itu, data ini tentunya dapat menjadi refleksi bagi para penggiat ekonomi syariah di Indonesia.

Refleksi pertama, keragaman otoritas keagamaan menunjukkan bahwa pendekatan hukum dan kebijakan politik tidaklah cukup untuk meyakinkan masyarakat Muslim Indonesia untuk mengakses produk ekonomi syariah. Perlu mencari jalan untuk pendekatan sosiologis dan kultural. Kedua, semenarik apapun produk ekonomi syariah yang mendapat legitimasi dari DSN MUI belum tentu disambut antusias masyarakat jika otoritas keagamaan mereka tidak memiliki pandangan yang sama.

Ketiga, pendekatan kepada otoritas keagamaan lokal menjadi salah satu opsi strategis untuk meningkatkan literasi tentang ekonomi syariah kepada berbagai kelompok masyarakat. Keempat, otoritas keagamaan yang influential di media sosial juga dapat menjadi salah medium untuk mengkampanyekan produk ekonomi syariah di era "New Media" ini.

Terakhir, keragaman otoritas keagamaan di Indonesia justru memberikan peluang untuk munculnya keunikan produk ekonomi syariah yang berbasis lokalitas. Poin terakhir ini mungkin masih belum banyak dijajaki bisa jadi karena anggapan selama ini bahwa produk ekonomi syariah harus berasal dari otoritas tunggal. Bukan tidak mungkin seorang kiai di kampung menghasilkan fatwa produk "keuangan syariah" yang hanya ada di daerah tertentu dan justru ini menambah kekayaan khazanah dan keunikan ekspresi ber-ekonomi syariah di Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement