REPUBLIKA.CO.ID, KYIV — Akademisi dari Ukraina dan Indonesia siap meluncurkan serangkaian proyek baru bersama-sama untuk meningkatkan kolaborasi akademik antara kedua negara. Sejak invasi Rusia ke Ukraina, semakin banyak pelajar Indonesia yang berhenti mengikuti kursus tentang Rusia untuk belajar tentang Ukraina. Delegasi akademisi Indonesia telah menghabiskan lebih dari satu pekan di Ukraina, serta bertemu dengan universitas-universitas Ukraina untuk menyepakati rencana penelitian bersama dan kursus baru yang berfokus pada Ukraina.
Peneliti Ilmu Politik Kyiv-Mohyla Academy National University, Maksym Yakovliev, meyakini kolaborasi penelitian dapat memberikan pemahaman yang lebih baik antara Ukraina dan Indonesia.
"Kami memahami bahwa mayoritas masyarakat Indonesia baru mengetahui Ukraina setelah invasi Rusia. Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia dan salah satu negara paling berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, dan kini kami berharap dapat membangun hubungan yang lebih kuat di antara kami," ujar Maksym beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, kerja sama pendidikan tinggi kedua negara yang baik dan berjangka panjang merupakan salah satu cara untuk mengatasi propaganda Rusia dengan membantu masyarakat memahami kebenaran tentang apa yang dilakukan Rusia di Ukraina.
Dosen Universitas Airlangga Surabaya, Radityo Dharmaputra yang tergabung dalam delegasi masyarakat sipil Indonesia mengatakan bahwa masyarakat di Indonesia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Ukraina.
"Saya telah melihat dengan mata kepala sendiri kehancuran yang disebabkan oleh Rusia, saya bermalam di bunker, berlindung dari serangan udara, dan bertemu dengan orang-orang yang dikurung dan disiksa oleh Rusia. Melalui kerja sama akademis kita dapat membangun pemahaman nyata di Indonesia, yang membuka jalan bagi kita untuk membantu Ukraina dalam perjuangan mereka mencapai kebebasan," kata Radityo dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (21/12/2023).
Radityo yang saat ini sedang menempuh program doktoral di Johan Skytte Institute of Political Studies, University of Tartu, menemukan bahwa akademisi Indonesia seringkali tidak memahami konteks sejarah hubungan Rusia-Ukraina, sehingga menimbulkan prasangka terhadap pendapat mereka tentang perang. "Misalnya, masyarakat di Indonesia tidak tahu bahwa Rusia telah menganiaya umat Islam di Krimea selama berabad-abad, sejak mereka pertama kali melakukan invasi pada abad ke-18. Saat ini, ratusan Muslim ditahan sebagai tahanan politik oleh Rusia di Krimea," katanya.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa di universitasnya, dia melihat semakin banyak mahasiswa yang meninggalkan bahasa Rusia untuk belajar bahasa Ukraina, karena kemarahan atas invasi Rusia terhadap negara tetangganya.
Secara terpisah, Maria Sagaidak, peneliti ahli di Pusat Penanggulangan Informasi Badan Keamanan dan Pertahanan Ukraina (NSCD) dan Syetlana Slipchenko, peneliti VoxCheck, mengatakan kolaborasi penelitian dalam hal pengetahuan budaya akan semakin memperkuat kedua negara.
"Harus diakui bahwa baik Ukraina, Indonesia, maupun masyarakat Asia belum saling mengenal dengan baik. Studi kami menemukan bahwa pesan salah yang disebarkan Rusia memanfaatkan ketidaktahuan tersebut, yang ternyata diyakini masyarakat," kata Maria.
Pendapat ini diamini oleh DR Algooth Putranto, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya yang menunjukkan bagaimana sentimen masyarakat Indonesia yang cenderung mendukung Rusia berasal dari hal yang sangat sederhana.
"Langkah Rusia yang sangat sederhana adalah dengan menayangkan kartun Masha and Bear pada tahun 2013 bekerja sama dengan salah satu stasiun televisi di Indonesia, setahun sebelum mereka mencaplok Krimea. Kartun ini sangat populer di Indonesia. Jadi wajar jika persepsi masyarakat Indonesia cenderung berpihak pada Rusia, bukan Ukraina," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, Rusia telah lama memanfaatkan keterbatasan literasi sejarah Indonesia akibat mengagung-agungkan hubungan Indonesia dan Uni Soviet. Faktanya, Ukrainalah yang pertama kali mendorong pengakuan kemerdekaan Indonesia di PBB pada tahun 1946.
Selain Radityo Darmaputra dan Algooth Putranto, delegasi masyarakat sipil Indonesia terdiri dari Yanuardi Syukur, Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dosen Antropologi Universitas Khairun (Unkhair), Ternate, KH Arif Fahrudin (Wakil Sekjen MUI Pusat Bidang Ukhuwah Islamiyah), H. Mokhamad Mahdum (Wakil Ketua BAZNAS RI) dan Moses Caesar Assa (Tenaga Ahli Komisi 1 DPR RI.)
Kehadiran delegasi Indonesia juga disambut baik oleh para akademisi dan staf Taras Shevchenko National University of Kyiv, salah satu kampus tertua di Ukraina. Diskusi mengenai upaya penguatan penelitian kedua negara berlangsung hangat meski digelar di tempat perlindungan bom dingin, akibat serangan udara Rusia.
Pada hari itu, serangan udara Rusia dilakukan sebanyak lima kali dengan menggunakan berbagai senjata yang menyasar seluruh kota besar, khususnya ibu kota Kyiv. Menariknya, delegasi Indonesia bersikeras untuk melanjutkan diskusi secara ramai dan dingin yang berujung pada rencana penerjemahan buku, pemutaran film, serta pertukaran mahasiswa dan dosen antar negara.
Rencana peningkatan kerja sama penelitian Ukraina-Indonesia juga mendapat sambutan antusias dari Universitas Katolik Ukraina di Lviv dengan rencana segera menawarkan sejumlah program musim panas.