Oleh : Aad Satria Permadi (Dosen dan Ketua Pusat Studi Psikologi Indigenous, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS))
REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini, Gus Miftah mendadak viral akibat makiannya kepada penjual es teh. Banyak yang tersinggung, tetapi juga banyak yang mulai berpikir. Es teh yang sederhana itu menjadi simbol dari sesuatu yang sering dianggap remeh, meskipun sebenarnya ia adalah bagian penting dari kehidupan sosial kita.
Di tempat lain, Arsenal, klub sepak bola yang dikenal dengan filosofi bermainnya yang cantik, punya cerita yang sama: menjanjikan rasa manis (seperti es teh), tapi sering kali berakhir dengan "hampir juara."
Namun, bukankah Arsenal dan Gus Miftah berbagi satu ciri khas yang sama? Keduanya mahir dalam seni membuat ekspektasi besar, hanya untuk akhirnya menyuguhkan "es teh" di puncak permainan. Arsenal selalu hampir menang. Gus Miftah juga hampir berhasil menyampaikan pesan inspiratif. Namun, kadang beliau tersandung oleh ketidakpekaan sosial yang memancing cibiran.
Seniman Medioker “yang Hampir tapi Tidak Cukup”
Gus Miftah mungkin bermaksud baik, tetapi komentarnya mengingatkan kita pada Arsenal. Arsenal sering kali menawarkan "kemasan premium" tapi menghasilkan prestasi yang biasa-biasa saja.
Arsenal adalah "es teh kemasan premium" di Liga Inggris. Tim ini menjanjikan permainan indah dan trofi, tetapi realitasnya adalah sederet "hampir juara" yang menyakitkan.
Begitu pula Gus Miftah: menyuguhkan dakwah yang terkesan keren dengan sederet kata-kata lucu, hasil di-copy paste dari FYP Tiktok. Sayangnya, Gus ini kadang gagal mengendalikan lisan dan gagal menumbuhkan empati sosial.
Keduanya memang ada di panggung yang berbeda. Namun, keduanya adalah maestro ekspektasi kosong, membuat penikmatnya merasa digantung tanpa kepastian. Ironis, bukan? Arsenal dan Gus Miftah, dua nama besar yang memopulerkan seni merayakan mediokritas.
Dalam labirin psikologis olahraga, kisah Gus Miftah yang menghina penjual es teh dan perjalanan Arsenal bagaikan sebuah metafora global tentang "kegagalan berulang" yang membekukan harapan. Arsenal yang selalu berada di ambang keberhasilan namun gagal menggenggam trofi, adalah potret sempurna dari "sindrom impostor" dalam psikologi modern.
Setiap musim mereka membangun narasi kemenangan. Namun selalu terjatuh di titik kritis, persis seperti penjual es teh yang dihina Gus Miftah. Arsenal sering dipermalukan dan kehilangan martabatnya di momen paling kritis, pada akhir musim.
Riset neurosains terbaru mengungkapkan bahwa pengalaman kegagalan berulang dapat menurunkan neurotransmitter dopamin hingga 35 persen, menciptakan siklus psikologis destruktif. Arsenal seolah terjebak dalam "lingkaran setan kegagalan" yang sama.
Ketika Gus Miftah merendahkan penjual es teh, dan ketika Arsenal selalu "nyaris" namun tak pernah menang, keduanya mengalami apa yang pakar psikologi sosial sebut sebagai "trauma pengakuan". Trauma pengakuan adalah sebuah kondisi psikologis di mana subjek terus-menerus diposisikan sebagai "yang hampir, tapi tidak pernah cukup".
Efek Zeigarnik: Luka yang Belum Sembuh
Arsenal dan Gus Miftah adalah bukti nyata Zeigarnik Effect. Keduanya seakan mengalami obsesi terhadap hal-hal yang tidak selesai. Seperti novel yang berakhir menggantung, Arsenal menghidupkan harapan penggemar hanya untuk meninggalkan Gooners (julukan fans Arsenal-Red) dengan rasa penasaran yang tak terpuaskan. Musim lalu, Arsenal "hampir" memenangkan Liga Inggris, hanya untuk runtuh di momen-momen krusial yang membuat luka lama semakin menganga.
Ini seperti Gus Miftah yang niatnya berdakwah malah terjebak dalam kontroversi yang seolah disengaja. Dengan setiap kalimatnya, ia menggantungkan audiensnya pada harapan pesan inspiratif, namun malah menciptakan debat yang tak kunjung selesai. Mirip Arsenal, Gus Miftah meninggalkan kita dengan perasaan "kok begini ya?" Perasaan ambigu antara ingin memaafkan dan mengkritik.
Efek Zeigarnik ini menggambarkan bagaimana Arsenal dan Gus Miftah menjadi pusat perhatian bukan karena keberhasilan, tetapi karena ketidakselesaian yang mereka ciptakan. Hal ini membuat orang terus memikirkan mereka, seolah menunggu babak baru yang menjanjikan penyelesaian, meskipun tahu kemungkinan besar akan mengecewakan.
Dan bukankah ini seni dari hampir? Arsenal "hampir" juara, Gus Miftah "hampir" menjadi inspirasi. Dalam setiap kegagalan mereka, ada kejeniusan tersembunyi: membuat kita tetap membicarakan mereka, meski seringkali dengan nada sarkasme.
Psikologi Harapan yang Membunuh
Arsenal adalah korban harapan yang terlalu tinggi, sebuah fenomena yang oleh psikologi disebut expectancy theory: semakin besar harapan yang kita bangun, semakin pedih rasa kecewa saat kenyataan menghancurkannya.
Dengan setiap musim Liga Inggris, Arsenal memperbarui janji manis akan kejayaan yang pada akhirnya hanya menyisakan rasa pahit di bibir penggemar mereka. Mirip dengan Gus Miftah, yang sering kali menciptakan ekspektasi inspirasi mendalam, hanya untuk berakhir dengan kontroversi "es teh"—sekilas menyegarkan, tetapi jauh dari memuaskan.
Harapan adalah pedang bermata dua. Arsenal seakan menghidupkan gairah, dan membuat penggemarnya bermimpi lebih besar. Tetapi terjadi justru Arsenal jatuh lebih keras. Dalam setiap kekalahan di momen krusial, Arsenal menciptakan luka yang terus diingat, sebuah pola yang juga dapat kita lihat dalam jejak pernyataan Gus Miftah. Meski niatnya baik, komentarnya sering kali lebih banyak menimbulkan debat daripada solusi.
Bagi penggemar Arsenal, musim demi musim seperti menonton film dengan akhir yang selalu menggantung. Ada keindahan dalam kekecewaan ini, yang menjerat hati untuk terus menunggu trofi impian. Gus Miftah juga, dengan segala keunikannya, membuat kita bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia coba sampaikan: dakwah atau sekadar sensasi?
Pada akhirnya, Arsenal dan Gus Miftah sama-sama korban dan pelaku dari harapan yang terlalu tinggi. Mereka menghidupkan perbincangan dan memancing kritik, sering kali menjadi simbol dari fenomena "janji besar, hasil minimal." Seperti es teh yang hanya menghapus dahaga sementara, keduanya mengingatkan kita bahwa hidup adalah perjalanan yang penuh sindiran.
Cerminan Ketidaksempurnaan yang Menyegarkan
Gus Miftah, penjual es teh, dan Arsenal adalah cerminan kehidupan: penuh janji, sering mengecewakan, tapi selalu menjadi bagian dari percakapan. Arsenal mungkin tidak pernah juara, tetapi mereka selalu "hampir." Gus Miftah mungkin tidak selalu bijaksana, tetapi ia berhasil membuat kita memikirkan esensi dari kesederhanaan.
Arsenal dan Gus Miftah diibaratkan sebagai sosok yang "hampir" berhasil dalam upaya mereka: Arsenal yang "hampir juara" dan Gus Miftah yang "hampir" menyampaikan inspirasi. Pesan esensial dari bagian ini adalah penerimaan terhadap ketidaksempurnaan dalam hidup, serta kemampuan untuk menikmati perjalanan yang sering kali tidak sesuai ekspektasi.
Jadi, lain kali Anda menyeruput es teh, renungkan ini: hidup tidak sempurna, dan itu menyegarkan. Arsenal tidak sempurna, tetapi mereka menyumbang cerita. Gus Miftah tidak sempurna, tetapi ia menyajikan sindiran yang membuat kita tersenyum getir.