REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesehatan mental menjadi fenomena baru di tengah masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini. Istilah healing sejenak, menjadi sering terdengar. Begitu juga dengan kasus-kasus berupa gangguan kecemasan, depresi, penyimpangan perilaku dan lain-lain.
Muncul juga pertanyaan apakah generasi sekarang rentan akan gangguan mental. Menurut data WHO (2022), sekitar satu dari delapan orang di dunia mengalami gangguan mental, dengan depresi dan kecemasan sebagai yang paling umum. Sebuah survei di Jakarta bahkan menemukan bahwa 34 persen pelajar SMA terindikasi memiliki masalah kesehatan mental, dengan 23 persen diantaranya mengalami
gangguan emosional seperti kekhawatiran berlebihan dan mudah merasa tidak bahagia (Jiwa Institute, 2024).
Dunia terus berubah dan tidak bisa dipungkiri bahwa generasi saat ini menghadapi tekanan yang lebih besar untuk berbagai performa, termasuk tuntutan akademik dan persaingan global. Ditambah lagi, paparan media sosial sering kali memperburuk perasaan tidak aman dan membandingkan diri dengan orang lain.
Menjadi penting bagi kita untuk bertanya bagaimana mengajarkan anak-anak kita untuk menjaga kesehatan mentalnya sehingga kelak mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak rapuh dan mampu meregulasi dirinya (self-regulated leaders). Dan bagaimana kita sebagai orang tua dapat membantu mempersiapkan anak-anak dengan resiliensi mental yang kuat.
Dalam kesempatan ini Redea Institute, yang menaungi jaringan Sekolah HighScope Indonesia, telah mengundang Rebecca Branstetter, PhD, seorang psikolog berlisensi dan doktor dari University of California Berkeley, Amerika Serikat, untuk memberikan serangkaian workshop bagi orang tua siswa, mulai dari usia early childhood sampai dengan SMA.
Branstetter adalah pembicara terkemuka dan pakar media nasional di bidang kesehatan mental bagi sekolah dan keluarga. Ia telah menerbitkan 11 buku mengenai perkembangan dan kesejahteraan anak, termasuk The Everything Parents Guide to Executive Functioning dan Small Habits Create Big Changes.
Rangkaian parents workshop ini dimulai pada hari Rabu (26/5/2025) dengan sesi yang berjudul 'The ABCs of Managing Emotional Meltdowns and Shutdowns (Yours and Your Child's!)'. Dalam sesi ini Branstetter bertanya “Apakah Anda pernah bingung menghadapi reaksi emosional anak Anda atau Anda sendiri?”
Via platform Zoom, orang tua mempelajari 26 strategi praktis untuk mengelola ledakan emosi, yang membantu mereka dan anak-anaknya menghadapi momen emosional dengan lebih mudah. Bersama-sama mempelajari strategi untuk tetap tenang, menurunkan emosi, dan mengubah momen-momen emosional menjadi kesempatan untuk belajar.
"Anak-anak tidak tahu bagaimana mengatasi perasaan besar mereka. Jadi, ketika Anda melihat anak Anda beraktivitas berlebihan atau menutup diri, itu adalah petunjuk bagi Anda bahwa mereka masih dalam mode 'bertarung atau terbang'. Mereka sedang berada pada reaksi stres. Tugas kita bukan bergabung dalam kekalutan itu, namun membawa ketenangan kita," ujar Branstetter.
Sesi selanjutnya berjudul “Parents' Guide to Boosting Attention and Motivation at Home” diadakan pada hari Selasa (4/3/2025). Branstetter memulai sesi ini dengan membahas tips & trick untuk meningkatkan fokus dan motivasi anak-anak di rumah melalui pengembangan keterampilan executive function. Branstetter juga membekali orang tua dengan strategi untuk mendorong kemandirian dan ketekunan dalam belajar, dan juga mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan produktif.
"Saya akan memberi Anda tips. Sebagai orang tua, pinjamilah lobus frontal kepada anak-anak, jangan jadi lobus frontal mereka. Artinya, Anda melibatkan mereka dalam pembuatan keputusan. Tanya mereka sesuatu, jangan hanya memberi tahu apa yang harus mereka lakukan dan membuat keputusan untuk mereka," ujar Branstetter/
Sesi terakhir diadakan pada hari Rabu (12/3/2025) yang berjudul “Protecting Your Child's Mental Health and Safety Online.” Pada sesi ini orang tua mempelajari pendekatan berbasis riset guna mendapatkan manfaat dari “waktu tatap layar”, sekaligus memastikan keselamatan dan kesejahteraan anak-anak mereka di dunia digital. Branstetter memberikan berbagai cara untuk membuat batasan, mengenali tanda-tanda bahaya, dan bagaimana melakukan percakapan yang akan membuat anak anda aman dan gigih di dunia digital.
"Teknologi tidak baik atau buruk. Itu adalah sebuah alat dan tergantung bagaimana Anda menggunakannya. Seperti sebuah palu, kita bisa membangun sesuatu yang keren dengan itu. Seorang tukang kayu bisa menciptakan hal-hal yang indah dengan sebuah palu, tapi tentu kita tidak bisa meninggalkan anak kita yang masih kecil dengan sebuah palu dan berharap semua baik-baik saja kan?" tutur Branstetter.
Founder dan CEO dari Redea Institute, Antarina SF Amir, mengungkapkan rasa terima kasih kepada seluruh orang tua Sekolah HighScope Indonesia yang turut berpartisipasi dalam rangkaian parents workshop ini. "Kami berharap wawasan yang dibagikan dapat memperkuat peran Anda dalam perkembangan anak Anda. Kami pun tidak sabar ingin lebih banyak lagi berbagi, belajar, dan tumbuh bersama sebagai komunitas," katanya.