Oleh Iwan Setiawan, Dosen Universitas Aisyiyah Yogyakarta
REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu kestimewaan Ramadhan adalah bulan diturunkanya Alquran pertama kali atau sering disebut dengan malam Nuzulul Qur’an. Malam saat Alquran diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril.
Di bulan Ramadhan inilah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama di Gua Hira. Sehingga peristiwa ini menjadi penanda bulan Ramadhan.
Berkaitan dengan sejarah penerjemahan Alquran di Indonesia, ada kisah menarik berkaitan dengan Raden Ajeng Kartini, pahlawan Nasional Indonesia dan Alquran. ‘’Panggil Aku Kartini Saja’’ begitu judul novel semi biografi karya Pramoedya Ananta Toer.
Pram memberi judul bukunya ini karena Kartini tidak mau dipanggil Raden Ajeng, cukup Kartini saja. Usia kartini tidak lama, lahir 21 April 1879 dan meninggal 17 September 1904. Praktis usia hidupnya “hanya” 25 tahun.
Namun, di usia yang pendek ini Kartini telah memberikan pemikiran yang berarti bagi bangsa ini. “Maka, hanya dengan mengaranglah Kartini bisa menunjukkan kekuatannya."tulis Pram. Kalau sekiranya Kartini tidak menulis niscaya hidupnya tak dikenal sampai sekarang.
Kartini adalah Muslim yang taat. Th Sumartono dalam buku ‘’Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini’’ menulis leluhur Kartini baik dari garis ayah maupun ibunya adalah penganut Islam yang tidak pernah mengingkari agama Islam.
Walaupun Kartini bukan “santri” meminjam istilah Clifford Geertz, ia tetap mempertahankan kepercayaannya sampai akhir hayatnya. Berkaitan dengan kritik Kartini tentang praktik keislaman di masyarakat masa itu yang menarik untuk dibaca.
“Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Alquran terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Di sini tidak ada orang yang tahu bahasa arab. Di sini orang diajari membaca Alquran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya,” tulis Kartini kepada Stella Zeehandeelar sahabat penanya dari Belanda.
Bagi Kartini praktik ibadah dalam Islam pada masa itu dilakukan tanpa mengetahui tujuan dari ibadah tersebut. Melaksanakan shalat, puasa, zakat, membaca Alquran tetapi tidak memahami maksud dan maknanya.
Kartini mengkritik Alquran yang tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Takdir mempertemukan Kiai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang. Kartini bertemu Kiai Sholeh Darat di rumah Bupati Demak Pangeran Hario Diningrat yang juga Paman Kartini.
Kiai Sholeh Darat dalam pertemuan itu menerjemahkan dan menafsirkan Surat Al-Fatihah. Betapa gembiranya Kartini mendengar uraian dari Kiai Sholeh Darat.
Setelah pertemuan tersebut Kartini menanyakan kepada Kiai Sholeh Darat mengapa Alquran tidak boleh diterjemahkan dan ditafsirkan dengan bahasa jawa. Padahal Alquran merupakan pedoman bagi umat Islam yang harus dipahami oleh mereka.
Betapa terperanjatnya Kiai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini ini sehingga memacu beliau untuk menerjemahkan dan menafsirkan Alquran dalam bahasa Arab pegon (tulisan arab bahasa Jawa).
Ada yang berpendapat Kartini anti-Islam dan Haji Agus Salim membantahnya. Agus Salim dalam ‘’Perempuan Dalam Islam’’ menjelaskan ajaran Islam yang diajarkan dan dipraktikkan pada masa Kartini belum menunjukkan keutamaan Islam.
Praktik ajaran Islam yang dihadapi Kartini khususnya soal poligami menjadikan Kartini harus bersuara keras untuk melawan egoisme laki-laki terhadap perempuan.
Membaca kisah Kartini ini kita bisa belajar bahwa sejarah Alquran di Indonesia mengalami proses yang panjang. Mulai dari dibawa para mubaligh dari Arab Saudi hingga dipelajari di Nusantara.
Di Nusatara pun proses penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Jawa dan Indonesia mengalami proses panjang. Kartini memberi kontribusi dalam mendorong penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Jawa.
Di bulan Ramadhan inilah membaca Alquran, terjemahannya dan mempelajari tafsirnya adalah suatu yang dianjurkan. Dengan pahala yang berlipat ganda. Alquran adalah kitab yang memberi petunjuk bagi manusia dan memberi penjelasan atas petunjuk-petunjuk tersebut (QS Al Baqarah 185).
Ramadhan adalah bulan di mana kita dipacu untuk mempelajari Alquran, bukan sekadar membaca dan menghafal tetapi juga membaca terjemahan dan memahami kandungannya.
Saat Kartini mempelajari Alquran dengan membaca terjemahannya, dia semakin yakin dengan keimanannya. Dia juga yakin Alquran memberi petunjuk atas pertanyaan dirinya berkaitan dengan urusan sesama manusia.
Dalam suratnya kepada Nonya N Van Kool pada 21 Juli 1902 Kartini menulis,“Yakinlah nyonya, bahwa kami akan selalu memeluk agama kami yang sekarang.... moga-moga kami mendapat rakmat,agar suatu ketika dapat membuat bentuk agama kami patut disukai dalam pandangan umat agama lain,” dan keyakinan Kartini ini sampai hari ini masih relevan untuk diperjuangkan.