REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Moh. Naufal Zabidi (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Rifai mencari korek api dan minyak gas di kantor pengurus pesantren. Di depannya ada beberapa karung berisi pakaian, alat makan, dan kitab-kitab yang biasa digunakan untuk pengajian. Pemuda 21 tahun itu memilah barang-barang bekas peninggalan santri. Lalu, ia membakar empat karung kitab.
“Saya membakar empat karung kitab yang ditinggalkan santri-santri. Kalau dijual, khawatir terinjak-injak, maka dibakar yang dianggap paling baik,” kata Rifai, saat ditemui akhir Oktober 2024.
Sudah delapan tahun Rifai nyantri di Pesantren Kebon Jambu, Jawa Barat. Ia telah merasa betah belajar di pesantren tersebut saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Saat ini, Rifai kuliah di Ma’had Aly yang masih satu naungan dengan Pesantren Kebon Jambu. Program Studi Hukum Keluarga merupakan jurusan yang ia tempuh.
Beda dengan Rifai yang telah lama mengaji di pesantren, Faizah (20 tahun), baru dua tahun belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Yogyakarta. Perempuan kelahiran Aceh ini memiliki kerabat yang pernah nyantri di Al-Munawwir. Ia pun tertarik melanjutkan perjuangan kerabatnya itu. Selain di pesantren, Faizah juga mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.
Kegigihan Rifai dan Faizah belajar dan mengabdi di pesantren tak berkurang sedikitpun meski keduanya tengah belajar di perguruan tinggi. Mereka berdua bahkan memegang peran penting di pesantrennya sebagai pengurus bidang kebersihan.
“Saya dari dulu memang selalu bagian kebersihan. Di OSIS bagian kebersihan. Di kamar hingga kompleks pesantren, juga kebersihan. Sekarang di (pondok) pusat pun bagian kebersihan” ujar Rifai.
Menurutnya, mengurus kebersihan di lingkungan pesantren merupakan bagian dari khidmah, dan ia memang sudah berpengalaman di bidang tersebut sejak dulu.
Bagi Rifai dan Faizah, kebersihan di pesantren sangat penting untuk dijaga. Apalagi tempat pesantren mereka dihuni ribuan santri. Di pesantren, mereka dituntun agar peduli pada lingkungan sebagaimana ajaran dari agama Islam. Namun, pada kenyataannya, tak semua santri betul-betul mempraktikkannya.
Sampah di Pesantren
Setiap pesantren memiliki permasalahan sampah. Ragam karakteristik pesantren di Indonesia mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam permasalahan sampah. Sehingga penyelesaian di masing-masing pesantren jelas berbeda sebab faktor dan jumlah produksi sampah pun berbeda. Di Pesantren Kebon Jambu, masalah sampah salah satunya bersumber dari barang-barang santri yang boyong.

“Tiap tahun selalu ada sampah boyongan ini,” tegas Rifai sambil menunjuk beberapa karung barang bekas kepunyaan santri. Ia hanya membakar kitab-kitab, sementara barang-barang lain masih disimpan dan akan dirongsokkan esok hari.
Santri yang boyong, seringkali meninggalkan beberapa barang-barangnya di pesantren. Rifai sempat ingat beberapa alumni meninggalkan barang-barang agar diambil oleh adik kelas atau untuk sekedar dijadikan kenang-kenangan. Hanya saja, barang tersebut justru bertumpuk dan tak terawat.
Sampah barang bekas boyongan santri bukan satu-satunya sumber masalah sampah di Pesantren Kebon Jambu. Sebagai pengurus bidang kebersihan, Rifai juga mengendus masalah lain seperti banyaknya sampah makanan berasal dari dapur dan kantin, minimnya tempat pembuangan sampah, hingga kurangnya perhatian dalam memilah sampah.
“Untuk sekarang, kondisi sampah belum dipilah. Piket itu sebatas membersihkan, belum mengelola. Sebatas sapu dan pel,” jelas Rifai.
Kebon Jambu menghasilkan sekitar 200-250 kilogram sampah per hari. Hal ini disebabkan kurangnya meminimalisir jumlah sampah di pesantren tersebut. Rifai punya firasat bahwa permasalahan sampah bisa menjadi bom waktu di berbagai pesantren, persis seperti yang kini ia rasakan. Baginya, permasalahan ini sangat bisa berlaku pada pesantren lain.
Firasat Rifai tampaknya tak sedikitpun meleset. Faizah pun turut mengalami permasalahan sampah di pesantrennya, Al-Munawwir, Yogyakarta. Di gedung kompleknya (Komplek R2), masalah sampah sudah sedikit teratasi. Masalahnya, Tempat Pembuangan Sampah (TPS) tidak digunakan untuk gedung mereka semata, melainkan juga digunakan gedung lain. Artinya, proses pemilahan sampah di gedung Faizah terkesan sia-sia.
Komplek R2 merupakan gedung yang digunakan khusus untuk santri perempuan. Terdapat lebih dari 200 santri mendiami gedung tersebut. Di gedung ini, Faizah merasa senang ketika para santri disiplin memilah sampah di tempat yang sesuai.
“Kalau dari kita sudah memilah, tapi dari komplek-komplek lain itu yang masih belum melakukan. Kita udah nyediain tiga tong sampah berbeda untuk tiga jenis sampah. Udah ada posternya juga. Tapi masih ada aja yang nyampur,” terang perempuan berusia 20 tahun itu.
TPS komplek R2 dipakai sebagai tempat pembuangan sampah beberapa komplek yang ada di Pesantren Al-Munawwir. Namun, hanya sedikit komplek yang menerapkan sistem pemilahan seperti di komplek Faizah tinggal. Sehingga, sampah yang semula dipilah di gedung R2 kembali tercampur dengan sampah yang tidak dipilah.
Menurut Faizah, hal ini membuat santri di gedung R2 pesimistis. Bahkan tak jarang, mereka melakukan pemilahan sampah karena terpaksa. “Karena TPS cuma satu untuk menampung sampah-sampah dari beberapa komplek, mau gak mau kita (santri R2) harus muter otak untuk mengolahnya karena pasti kalau udah masalah berserak dan bau kan kita juga yang kena imbasnya,” kata Faizah terus terang.
Siasat Kecil
Bagi Rifai dan Faizah, membangun kepedulian lingkungan untuk kalangan santri tidaklah mudah. Namun, mereka tidak menyerah begitu saja dan mencari jalan agar keadaan lekas membaik. Sebagai orang yang memegang tanggung jawab pada bidang kebersihan, sudah sepantasnya mereka memahami kondisi para santri beserta kebijakan yang tepat untuk melibatkan santri dalam penanggulangan masalah sampah di pesantren.
“Pemilahan sedari hulu, dari kamar. Kemudian kantin, tempat umum, masjid. Harus dari hulu ke hilir secara menyeluruh,” jelas Rifai.
Proses pemilahan ini amat penting. Dalam artikel berjudul Dua Langkah Atasi Sampah yang diterbitkan mongabay.co.id dijelaskan, memilah sampah merupakan langkah kecil yang dapat dirasakan dalam waktu jangka panjang.
Yobel Novian Putra selaku Wakil Koordinator Kampanye Kebijakan Organis di Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung, mengurai kebijakan memilah sampah di Filipina yang mampu mengurangi 80 persen sampah dalam waktu sekitar tiga bulan. Singkatnya, Yobel, melihat peluang memanfaatkan banyaknya jumlah sampah organik. Hal tersebut bisa dicapai bila sampah organik dipilah terlebih dahulu. Sebab, bila pemilahan sampah dilakukan di TPS, limbah organik telah terkontaminasi dengan limbah lain sehingga tidak dapat digunakan untuk kompos.
Kebijakan ini yang akan dilakukan oleh Rifai dan Faizah di pesantrennya. Bahkan mereka juga berencana melakukan kerja sama dengan santri dan warga sekitar untuk mengolah sampah organik.
Rifai dan Faizah tak dapat bekerja sendirian. Mereka perlu dibantu oleh santri-santri lain dalam mengurangi sampah dengan merealisasikan pemilahan. Pengasuh pesantren juga tak luput mereka sorot. Kebijakan dan arahan yang tegas dari pengasuh pesantren akan membantu proses pengurangan sampah. Dengan begitu, masalah sampah di pesantren akan lekas membaik.
*Karya jurnalistik di atas menjadi Juara 3 Lomba Menulis Feature Kategori Diploma/Sarjana pada event UII Ramadan Fair 2025 kolaborasi antara Universitas Islam Indonesia dengan Republika