REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Tiga mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) yakni Arung, Handika dan Irsyad yang menjadi pemohon uji formil Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) diduga mengalami intimidasi berupa pelanggaran privasi dari orang tak dikenal (OTK) yang mengatasnamakan MK. Permohonan uji formil tersebut sebelumnya telah terdaftar dengan nomor registrasi 74/PUU/PAN.MK/ARPK/05/2025, dan diajukan secara online pada Rabu, 30 April 2025 pukul 18.13 WIB.
Salah satu mahasiswa yang juga koodinator tim permohonan perkara, Abdur Rahman Aufklarung menceritakan bahwa kediamannya dan dua orang temannya, yang secara tiba-tiba didatangi oleh orang tak dikenal dengan membawa nama MK untuk menggali informasi pribadi mereka.
Mulanya, kejadian ini dialami lebih dulu oleh Handika dari Grobogan, Jawa Tengah dan Irsyad dari Lampung. Keluarga mereka sempat didatangi oleh orang tak dikenal yang mengaku dari MK dengan dalih akan melakukan pemeriksaan faktual. OTK itu tidak hanya menanyakan informasi pribadi, namun juga meminta dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) serta menanyakan aktivitas masing-masing.
"Modus yang digunakan mereka kurang lebih sama, yaitu awalnya memuji penampilan kami di sidang pendahuluan 9 Mei lalu, kemudian pada akhirnya mereka (OTK) meminta data pribadi. Untuk Handika, ketua RT nya telah menunjukkan KK ke orang tersebut dan diambil gambar. Sedangkan Irsyad belum sampai memberikan data pribadi apapun. Namun, apa yang saya alami cukup berbeda meskipun outputnya sama yakni kecolongan salinan KK," kata mahasiswa yang akrab disapa Arung, saat dihubungi Republika, Jumat (23/5/2025).
Kejadian serupa kemudian dialami olehnya pada Ahad (18/5/2025) lalu, di mana kediamannya di Mojokerto juga didatangi oleh OTK yang mengaku dari Babinsa dengan menggunakan modus yang sama untuk mendapatkan informasinya. Kesamaan pola ini mengindikasikan adanya dugaan tindakan sistematis terhadap mahasiswa yang menjadi bagian dari pengajuan judicial review tersebut.

"Babinsa desa saya mendapat perintah dari Kodim Mojokerto untuk mencari data saya, dan tanpa berpikir panjang Babinsa tersebut pergi ke kantor desa untuk mengambil salinan KK saya dan pada akhirnya salinan KK saya disetorkan ke pihak Kodim Mojokerto," ujarnya.
Meski belum ada intimidasi fisik secara langsung, mahasiswa mengaku waspada atas pola-pola pengawasan yang mereka alami. Arung yang semula tidak tahu untuk apa data tersebut, kemudian merasa curiga ketika Google Docs yang digunakan untuk menyusun berkas permohonan tiba-tiba diakses oleh delapan akun tanpa nama alias anonim. Ia mengatakan akses link Google Docs tersebut tidak pernah disebarluaskan sehingga ada yang meretasnya apalagi ini terjadi setelah OTK mendatangi kediaman ketiganya.
"Sejauh ini hanya mengalami kejadian aneh, tepatnya kemarin siang yaitu Google Docs yang kami gunakan untuk menyusun berkas permohonan tiba tiba diakses oleh 8 akun anonim tak dikenal yang bukan bagian dari kami. Padahal kami tidak pernah menyebarluaskan link Gdocs tersebut ke publik. Untuk terkait ancaman dan sebagainya tidak ada," ucapnya menjelaskan.
Alhasil, sebagai langkah antisipasi, Arung dan kedua temannya itu menceritakan apa yang mereka alami kepada pihak kampus, dalam hal ini untuk meminta perlindungan. UII pun merespons cepat situasi ini, termasuk LKBH Fakultas Hukum hingga Dekanat telah menyusun langkah-langkah preventif untuk melindungi mahasiswa.
"Kami akan terus meminta atensi dan perlindungan dari banyak pihak, terutama dari pihak kampus. Pihak kampus sangat responsif dalam menyikapi peristiwa ini. Beberapa lembaga kampus mulai dari LKBH FH UII, Dekan Fakultas, Lembaga Kemahasiswaan sudah mulai menyuarakan dan menyusun langkah preventif supaya tidak terjadi hal-hal yg tidak diinginkan ke depannya," ungkapnya.
LKBH UII Siap Dampingi Mahasiswa
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni FH UII, Agus Triyanta, mengonfirmasi bahwa mahasiswa tersebut telah melapor ke pihak kampus dan kini didampingi oleh Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) FH UII.
"Yang dialami oleh mereka sebenarnya berupa pelacakan dan pengambilan data pribadi tanpa seizin dari yang bersangkutan, seperti yang diberitakan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum UII, Rizky Ramadhan Baried, menyebut para mahasiswa datang ke LKBH pada Ahad, 18 Mei 2025, untuk melaporkan peristiwa yang mereka alami di daerah masing-masing. Ia menyatakan bahwa kampus mengambil langkah mitigasi yang mencakup perlindungan data pribadi dan keamanan fisik mahasiswa serta keluarganya.
"Segala komunikasi terkait perkara ini harus melalui penasihat hukum mahasiswa. Kami juga mengingatkan semua pihak untuk tidak mengintimidasi pemohon yang menjalankan hak konstitusionalnya," ucap Rizky.
Lebih lanjut, LKBH UII juga mengingatkan bahwa seluruh tindakan yang mengatasnamakan institusi negara tanpa kewenangan resmi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, termasuk penyalahgunaan identitas dan intimidasi terhadap warga negara yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya.
"Memang belum ada perbuatan ancaman atau intimidasi secara fisik maupun psikis secara langsung kepada mahasiswa kami. Namun demikian, dalam konteks iklim demokrasi, semestinya tidak terjadi hal-hal yang demikian. Judicial Review itu jalur konstitusional, dan dilindungi oleh undang-undang, sehingga adanya OTK yang mengaku dari Kepaniteraan MK, ini jelas tidak sesuai dengan hukum acara. Terlebih adanya Babinsa yang pada akhirnya meminta dokumen kependudukan mahasiswa kami, itu juga tidak sesuai dengan kewenangannya," ujarnya menambahkan.
Ia juga mewanti-wanti kepada mahasiswa lain di berbagai perguruan tinggi yang juga terlibat dalam pengujian UU TNI agar tetap waspada. Diketahui, setidaknya ada 14 perguruan tinggi lain di Indonesia yang turut menjadi bagian dari proses judicial review tersebut.
“Tentunya kami berpesan kepada mahasiswa kami untuk berhati-hati, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun aktivitas konstitusional mereka. Kami juga berpesan kepada seluruh mahasiswa yang juga melakukan hal yang sama seperti mahasiswa kami itu, karena kami dengar ada 14 perguruan tinggi di samping UII begitu, saya juga mendengar ada tindakan yang kurang lebih sama meskipun tidak dilakukan secara fisik tetapi melalui media sosial," ungkapnya.