REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aidul Fitriciada Azhari (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta; Ketua Komisi Yudisial RI Periode 2015-2018)
Dalam pidato pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno dengan semangat berapi-api menyatakan, “Tidak ada Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan.… Bahkan saya berkata lebih dari itu: zonder (tanpa) perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangankan buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis dalam kitab Quran, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.”
Apa yang disampaikan oleh Bung Karno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) itu merupakan refleksi Bung Karno atas peran agama dalam sejarah peradaban manusia. Jauh sebelumnya pada masa Hindia Belanda, Bung Karno sudah terlibat dalam polemik dan perdebatan pemikiran Islam. Salah satu yang terkenal adalah polemiknya dengan Mohammad Natsir dan surat menyuratnya dengan A. Hasan, seorang ulama pembaharu dari Bangil.
Bagi Bung Karno, agama bukan sekedar ajaran spiritual semata-mata yang terasing dari dinamika kehidupan manusia. Agama juga bukan ajaran beku yang mengekang perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Agama tidak berhenti dalam teks-teks kitab suci, melainkan menyisip dalam sejarah peradaban manusia melalui perjuangan umatnya sehingga dapat terwujud dalam kenyataan. Agama dalam pandangan Bung Karno adalah kekuatan pembentuk peradaban sekaligus kekuatan transformasi yang mengubah dan membebaskan manusia dari penindasan dan keterbelakangan.
Inilah kekuatan agama yang dibawa dalam semua misi kenabian para nabi dan rasul serta orang-orang suci sepanjang sejarah manusia. Suatu misi profetik untuk membumikan agama agar tidak berhenti menjadi teks-teks beku pada kitab suci atau sekedar menjadi ekspresi spiritualitas yang terasing dari realitas. Alih-alih mengasingkan diri dari realitas kehidupan manusia, para nabi dan rasul justru bergelut dengan dinamika masyarakat dan memperjuangkannya bahkan dengan penderitaan dan pengorbanan nyawa. Misi profetik itu pula yang ditangkap oleh Bung Karno sebagai salah satu dimensi yang melekat dalam Pancasila.
Profetik
Meminjam pemikiran Kuntowijoyo, makna profetik ecara epistemologis menunjuk pada konsep humanisasi, liberasi, dan transendensi. Kuntowijoyo mengambil inspirasi dari QS Al Imran 104 yang berisi tiga konsep utama, yakni menyerukan kebaikan (amar ma’ruf) sebagai humanisasi, mencegah kemunkaran (nahi munkar) sebagai liberasi, dan beriman kepada Allah (tu’minuna billah) sebagai transendensi.
Kuntowijoyo memaknai ketiga konsep itu sebagai dimensi profetik agama dalam konteks industrialisasi yang telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi, penindasan, dan sekularisme. Melalui optik ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo melihat agama memiliki kekuatan kritik terhadap proses industrialisasi melalui humanisasi dengan mempromosikan kemanusiaan dalam bentuk pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Agama juga dapat menjadi kekuatan pembebasan dengan cara mencegah kemungkaran lewat kebijakan afirmasi dan advokasi terhadap kaum marjinal yang mengalami represi akibat proses industrialisasi.
Tetapi, humanisasi dan liberasi itu harus dipandu oleh nilai-nilai keimanan sehingga tidak melenceng menjadi bentuk sekularisasi yang menjauhkan manusia dari fitrah kemanusiaan sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hal itulah yang membedakannya dari humanisasi pada ideologi humanisme-sekuler dan liberasi pada ideologi sosialisme-komunisme yang sama-sama menafikan agama sebagai nilai penting dalam kehidupan manusia.
Kuntowijoyo mendeskripsikan misi profetik ini dengan ucapan ʿAbdul Quddūs Gangōhī yang yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Abdu Quddus mengatakan, “Muhammad dari Arabia naik ke surga tertinggi dan kembali. Demi Tuhan, jika aku telah mencapai titik itu, aku tidak akan pernah kembali.” Ucapan sufi dari India itu mengacu pada peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW ke sidratul muntaha untuk bertemu Allah SWT dan melihat surga secara langsung. Alih-alih bertahan menikmati pertemuan dengan Allah dan keindahan surga, Nabi Muhammad SAW justru memilih kembali ke bumi untuk menyisip dalam sejarah dan berjuang untuk mengubah kehidupan manusia. Keimanan lantas tidak berhenti menjadi kenikmatan spiritual yang bersifat personal, tetapi diwujudkan menjadi kekuatan yang membentuk dan mengubah sejarah manusia.
Misi profetik seperti itu juga tampak pada kisah-kisah nabi lainnya, seperti Nabi Ibrahim as, Musa as, dan Isa as yang bergulat dengan realitas dan berjuang membebaskan manusia dari penindasan dan penderitaan. Misi profetik seperti itu tampak pula dalam kisah-kisah Sidharta Gautama, Kong Hu Cu, dan banyak orang-orang suci yang memperjuangkan nilai-nilai kebaikan untuk mengubah sejarah kehidupan manusia. Agama menjadi kekuatan transformasi yang tidak hanya berhenti menjadi bentuk ritual dan ekspresi spiritualitas semata, tetapi mewujud dalam perjuangan sosial kemanusiaan untuk mengubah masyarakat dan membebaskan manusia dari penindasan dan penderitaan.
Dimensi profetik Pancasila
Bung Karno dengan jelas menangkap dimensi profetik dari Pancasila. Dalam pandangan Bung Karno Pancasila adalah refleksi dari semangat profetik yang dinamis dan transformatif. Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama merupakan pilar utama bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dan mewujudkan keadilan sosial. Sila pertama adalah bentuk transendensi keagamaan yang tidak berhenti hanya sebagai bentuk keimanan semata, tetapi mengalir menjadi kekuatan penggerak untuk melakukan transformasi sosial dalam bentuk humanisasi dan liberasi. Di dalam humanisasi terkandung nilai amar ma'ruf yang diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap asas kemanusiaan universal (sila kedua), kebangsaan (sila ketiga), dan demokrasi permusyaratan (sila keempat). Sementara di dalam liberasi terkandung semangat nahi munkar yang terpantul dalam asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima).
Bung Karno meletakkan konteks misi profetik itu dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme yang telah mengakibatkan dehumanisasi bangsa Indonesia. Tetapi, kolonialisme tidak dipandang semata-mata sebagai penguasaan secara politik terhadap bangsa Indonesia. Kolonialisme dalam pandangn Bung Karno telah bersekutu dalam kejahatan kapitalisme yang menciptakan eksplotasi ekonomi besar-besaran terhadap bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Pancasila tidak berhenti menjadi ideologi yang hanya mempromosikan kemanusiaan, kebangsaan, dan demokrasi politik, tetapi lebih dari itu menjadi kekuatan liberasi atau pembebasan bukan saja dari penjajahan secara politik melainkan juga dari penindasan secara ekonomi oleh sistem kapitalisme. Inilah yang disebut oleh Bung Karno sebagai economische-demokratie atau demokrasi dekonomi, yakni suatu demokrasi yang tidak semata-mata memberikan kebebasan secara politik kepada warga negara, tetapi juga memberikan kesempatan yang sama untuk menikmati kesejahteraan bersama.
Dan semua perjuangan itu tidak semata-mata berangkat dari pertarungan ekonomi sebagaimana dalam ideologi marxisme-komunisme atau sekadar didorong semangat memperoleh kebebasan sebagaimana dalam ideologi liberalisme. Lebih dalam dari itu, perjuangan melawan kolonialisme dan kapitalisme itu terutama didasari oleh keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang tercermin dalam ungkapan Alinea ke-3 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Ironi realitas
Sayangnya kehidupan kebangsaan kita saat ini jauh dari semangat profetik Pancasila. Pancasila tidak lagi menjadi kekuatan humanisasi dan liberasi. Banyak kebijakan-kebijakan yang justru mengakibatkan dehumanisasi dalam berbagai bentuk. Dimensi manusia sering luput dari pertimbangan kebijakan dibandingkan dengan keuntungan secara ekonomi dan politik. Bahkan dalam kehidupan demokrasi yang sejatinya bertumpu pada kebebasan manusia, justru berkembang ke arah “numerisasi manusia” dalam pengertian manusia hanya diperlakukan secara numerik dalam bentuk angka-angka dengan menghilangkan esensinya sebagai pribadi yang memiliki kesadaran dan rasionalitas. Demokrasi tidak lebih dari pertarungan antara suara mayoritas-minoritas yang mengabaikan argumentasi dan diskusi yang lebih bermakna. Pancasila pun kehilangan kekuatannya sebagai kekuatan liberasi. Tidak sedikit kebijakan justru mengakibatkan ekploitasi dan penindasan terhadap rakyat sebagai akibat dari orientasi pada kepentingan ekonomi dan politik perseorangan sehingga mengabaikan kesejahteraan bersama.
Padahal Pencasila menegaskan ciri demokrasi nasional Indonesia adalah demokrasi yang dipandu (dipimpin) oleh kearifan yang bersifat rasional (hikmah kebijaksanaan) yang diperoleh melalui proses deliberasi (permusyawaratan) yang merepresentasikan (perwakilan) kepentingan public secara luas. Karena itu, tidak berarti setelah proses elektoral demokrasi lantas berhenti semata-mata menjadi relasi numerik mayoritas-minoritas, tetapi berkembang secara dialogis dan dialektis melalui berbagai adu argumentasi dan diskusi publik secara terbuka sebagai bentuk representasi kepentingan rakyat.
DI sisi lain, ironisnya agama yang seharusnya menjadi kekuatan transendensi yang menginspirasi bagi humanisasi dan liberasi justru berkembang menjadi alat legitimasi kekuasaan. Kekuatan agama pun dihitung secara kuantitatif berdasarkan jumlah ummatnya demi keuntungan elektoral. Pemahaman agama tidak berkembang sebagai bentuk argumentasi yang bersumber dari keimanan yang benar. Pemahaman agama tidak jarang justru mendorong dehumanisasi yang menjauhkan manusia dari fitrahnya sebagai mahluk yang bermartabat. Tidak sedikit pula pemahaman agama yang mengakibatkan penindasan kepada sesama manusia yang dijustifikasi oleh keyakinan agama.
Oleh karena itu, sudah selaiknya kita mengingat kembali dimensi profetik yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno. Pancasila adalah kekuatan tranformasi yang lahir dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mengalir dan bergerak dalam pemuliaan dan penghormatan atas kemanusiaan, kebangsaan, dan demokrasi dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.