REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat 1.649 hewan qurban terinfeksi cacing hati (fasciolosis) berdasarkan hasil pemeriksaan post mortem saat momen Idul Adha 2025 di wilayah ini.
"Sampai kemarin (Senin, 9/6/2025), dari 7.530 titik penyembelihan, jumlah hewan yang dipotong mencapai 84.137 ekor, dan dari hasil pengamatan post mortem, yang terdiagnosa faskiolasis itu 1.649 ekor," kata Kepala DPKP DIY Syam Arjayanti di Yogyakarta, Selasa (10/5/2025).
Syam menyebut jumlah itu setara sekitar dua persen dari total hewan yang diperiksa. Hewan kurban yang dipotong terdiri atas 23.715 ekor sapi, 26.197 kambing, dan 34.225 domba.
Menurut dia, kasus cacing hati paling banyak ditemukan pada sapi, disusul domba dan kambing, dengan sebaran terbanyak di Kabupaten Sleman dan Bantul. "Kalau cacing hatinya sudah menyebar hampir ke seluruh organ, itu kami minta dimusnahkan dan tidak boleh diedarkan. Tapi, kalau hanya sebagian kecil, bagian yang sehat masih bisa dibagikan," ujarnya.
DPKP DIY, kata Syam, telah mengedukasi masyarakat agar hanya mengonsumsi daging kurban yang dimasak hingga matang, karena parasit tersebut bisa tetap hidup apabila daging tak dimasak sempurna. Syam mengakui pihaknya tidak melakukan pengamatan terhadap penyakit lain selain faskiolasis pada momentum penyembelihan hewan kurban tahun ini.
Meski begitu, dia memastikan distribusi hewan kurban tahun ini diawasi ketat, terutama dengan kewajiban melampirkan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH). "Kami tolak jika tidak ada SKKH. Komunikasi antardaerah juga kami perkuat untuk memastikan distribusi hewan sehat," tutur dia.
Menyusul ditemukannya penyakit antraks pada Februari lalu di Kelurahan Tileng, Kecamatan Girisubo dan Kelurahan Bohol, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, DPKP DIY hingga kini masih memberlakukan larangan distribusi hewan dari dua wilayah tersebut. "Yang dipotong di sana hanya boleh dikonsumsi di sana. Tidak boleh ada distribusi ke luar wilayah. Bahkan, dokter hewan pengawas pun harus menginap di sana, dengan SOP ketat dan perangkat yang harus benar-benar bersih agar tidak membawa spora keluar," ujar Syam.
Meski kasus antraks di dua kelurahan itu sudah mulai melandai, menurut dia, larangan tersebut tetap diberlakukan sebagai langkah antisipatif, karena penyakit itu bersifat zoonosis dan membutuhkan penanganan jangka panjang. Syam mengakui vaksinasi antraks di dua wilayah tersebut belum sepenuhnya rampung. Hingga saat ini, cakupan vaksinasi baru mencapai sekitar 90 persen.
"Karena masyarakat masih belum menyadari pentingnya vaksin. Ini yang agak susah, padahal vaksin gratis dan kami sediakan. Tapi, belum sampai 100 persen," ujarnya.