REPUBLIKA.CO.ID, Penulis: Joe Hara
Tiga wanita dalam jalinan persahabatan dengan kisah cinta masing-masing, cerita mereka adalah pergolakan dalam bathin yang terjadi sehingga menjadi sebuah kekuatan untuk menentukan pilihan.
Bagian 1
TANATORAJA
Oh malunya hati ini
Bila kuingat saat itu
Kami hanya saling berpandang
Dan terdiam terpaku..
Sayup-sayup terdengar alunan lagu ‘Dia’ – Vina Panduwinata dari radio digital dikamar kost Emma, sejak habis Isya tadi Emma terus didepan laptopnya mengetik laporan perjalanannya ke Tana Toraja Sulawesi Selatan, dia mempelajari adat budaya tanah “to riaja” begitu nama asal sebelum oleh orang Belanda jadi disebut Toraja, “to-riaja” adalah bahasa Bugis yang artinya orang-orang yang tinggal di negeri atas dan memang Tanatoraja itu adalah daerah dataran tinggi, udara disana dingin, lebih dingin lagi di pagi hari, angin selalu bertiup dan hembusannya terasa dingin menusuk tulang.
Emma adalah seorang guru, dia mengajar sejarah dan budaya untuk anak-anak setingkat SMA, tempat Emma mengajar adalah sekolah swasta terpadu di Bandung, kepala sekolahnya, atau biasa di sekolah swasta disebut direktur, Pak Awin, adalah seorang yang sangat concern dengan budaya Indonesia, dibawah kepemimpinannya Emma sudah dua kali dikirim ke daerah dengan adat budaya tinggi, tahun lalu dia mempelajari adat budaya Suku Batak Toba, dan selama satu bulan penuh Emma tinggal di salah satu rumah penduduk yang berada di pinggir Danau Toba, menurutnya itu pengalaman yang tak terlupakan, tiap pagi sambil mengenakan ulos dia berjalan menyusuri pantai danau Toba dan melihat bagaimana kabut putih yang melayang-layang di permukaan air perlahan sirna karena disinari matahari, birunya air Danau Toba menggambarkan kedalaman danau, penuh kedamaian namun tetap menyiratkan aura magis dari sebuah bentang alam yang mengagumkan.
Laporan ini harus selesai besok pagi walaupun belum tersusun sistematis dalam bentuk mata ajaran, namun Pak Awin ingin segera membacanya, ngga apa-apa walaupun masih berupa cerpen, gitu kata Pak Awin, maka Emma ngebut malam ini mengetik laporan, walaupun sebagian kerangka dasarnya sudah dia buat sejak hari-hari tinggal di Tanatoraja.
Selama di Toraja Emma ditemani oleh seorang penduduk aseli toraja, Daeng Dadin Burhanudin Sampetoding, begitu nama lengkapnya, tapi Emma biasa memanggil namanya saja, Dadin, sesuai yang diminta oleh si empunya nama, jangan terlalu panjang, dan jangan pake Daeng, kamu bilang Daeng nanti semua orang jadi menoleh karena disini banyak sekali Daeng katanya sambil tersenyum, cukup Dadin saja.
Dadin berperawakan tinggi mendekati kurus, pekerjaannya sehari-hari adalah pengurus lembu atau peternak lembu, jumlahnya ratusan, milik keluarganya turun temurun. Daeng Dadin adalah seorang pemuka Aluk To Dolo, sebuah kepercayaan animisme yang menjadi budaya dasar orang Toraja, meskipun Dadin adalah seorang muslim namun karena keahliannya dalam memahami dan merawat budaya Toraja maka dia diangkat menjadi seorang pemuka Aluk To Dolo, ini adalah asimilasi antar budaya, dan ini menjadi salahsatu fokus penelitian Emma selama disana.
Belajar dari keseharian Daeng Dadin, Emma mendapat sebuah pengalaman tentang bagaimana menjalani kehidupan keseharian dari seorang pemuka budaya dimana penggunaan komputer-smartphone dan media sosial dipadu dengan tetap merawat dan perpenampilan layaknya seorang tetua adat, sekaligus cowboy yang mengelola ratusan lembu, ahli teknik sipil dan tetap muslim yang baik, sekaligus pewaris ilmu-ilmu mistis khas Tanatoraja. Dimata Emma, Daeng Dadin adalah seorang manusia multi-tasking sekaligus multi-talenta. Jauh dalam hatinya Emma mengagumi Dadin.
Tiba-tiba smartphone Emma bergetar, vibrating, Dafa sahabatnya diseberang sana calling
“.. hai Ceu.. apa kabar, dimana ini..” sapanya
“.. Baik ceu.. aku dah di Bandung lagi sejak dua hari lalu..”
“.. Ya oke kebetulan si Karlin ngajak hang out malem minggu ini..”
“.. hayu atuh dimana..?”
“.. Aku sama Karlin ke Bandung ya, nanti di kabarin lagi..”
“.. Oke Ceu, aku tunggu..”
“..Oke bye..”
----------------
Mereka bertiga bersahabat sejak SMP, Emma, Dafa dan Karlin, namun sewaktu SMA Emma pindah ke Bandung, sementara Dafa dan Karlin tetap di kota kecil mereka hingga SMA, Emma meneruskan kuliah di Bandung, Dafa di Bogor dan Karlin tetap di Cianjur.
Jam digital smartphone menunjukkan pukul 00.32, laporan sudah selesai tinggal besok di print di kantor, ditutupnya laptop dan segera menuju tempat tidur, kantuknya sudah tak tertahankan.
---------------
Dafa dan Karlin sudah menunggu dikursi pool travel saat Emma menjemput mereka, keduanya melonjak senang saat melihat sabahat mereka tiba, sedikit riuh saat mereka berpelukan, beberapa penumpang yang sedang duduk disana menoleh ke arah mereka namun kembali menunduk tertuju ke masing-masing gadgetnya.
“..Makan dulu yok, aku laper nih..” Kata Karlin
“.. Dimana ya enaknya..” Emma menjawab.
“.. Yang cepet aja..”
“.. Ya udah KFC buah batu ya..”
“.. hayu..”
Grabcar pesanan Emma datang, mereka bertiga naik di kursi tengah.
Dari pool travel ke jalan Buah Batu sebenarnya dekat saja, jika tidak macet perjalanan itu cukup ditempuh duapuluh menit, tapi Bandung selalu macet, hingga satu jam kemudian baru mereka turun dan masuk ke tempat makan.
“.. Gimana rencananya Ceu, mau nginep kan..?” kata Emma selesai mereka makan.
“.. ya nginep lah, besok sorean baru pulang, aku ke Jakarta Karlin mah ke Cianjur..”
“.. Iya travelnya sama, dia ada jurusan Jakarta dan jurusan Sukabumi..”
“..Iya kita ambil jam yang sama, jam 4 sore..”
“.. Ya udah, malam ini kita hangout di rooftop café Preanger yuk, kata temen aku tempatnya enak, makanannya juga enak..” kata Emma.
“..Hayu, kumaha euceu we kitamah ngikut..”
Rooftop café Preanger memang enak, ngeunaheun kata orang sunda, tempatnya cozy, open area dan musiknya juga oke, malam ini jadwalnya evergreen soft rock, lagu-lagu sebangsa Careless Wishper, I Cant Fight This Feeling, It Must Have Been Love mengalun merdu, musiknya band lengkap, pake saxophone juga, para pemusik itu tadi memperkenalkan diri, ternyata mereka anak-anak Institut Seni, mereka mengasah keahlian sambil cari cuan..
“.. Kamu kemarin ke Toraja ceu..” kata Dafa membuka percakapan.
“.. Cerita dong, kumaha disana..”
Emma memandang Dafa sekejap, kemudian menyeruput kopinya, dan terus menyeruput pelan-pelan, Dafa dan Karlin memandangi, menunggu Emma mengawali cerita, tapi sepertinya Emma menikmati kopinya agak dibuat lama..
Emma menempatkan kembali cangkir kopinya keatas tatakan dan menyorongkannya sedikit kedepan, dia menghela nafas panjang, matanya terlihat meredup sendu. Dafa dan Karlin sejenak berpandangan, mereka merasa ini ada apa dengan sahabatnya..
“..Iya, aku dari Toraja..” katanya dengan suara pelan, matanya menerawang lurus kedepan seakan sedang mencari kata yang tepat untuk menyusun sebuah cerita.
“.. Trus..?” kata Dafa mulai tidak sabar dan penasaran.
“.. Aku disana ditemani oleh seorang laki-laki, namanya Daeng Dadin, dia semacam pendamping yang menjelaskan ke aku tentang semua budaya di Tana Toraja..” sampai disana cerita Emma terhenti, dia menyeruput lagi kopinya..
Dafa dan Karlin saling berpandangan dan senyum sedikit, dalam bahasa sunda senyum seperti itu disebut keom.
“.. Oke, terus kenapa, what happen to you..” kata Dafa, dia mulai menangkap ada sesuatu..
Emma memandangi mereka berdua, bergantian.
“.. aku jadi menyukainya… oohh..” katanya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menunduk jenaka, kemudian menjarangkan jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga matanya bisa mengintip menatap kedua sahabatnya..
“..Oke, terus kenapa, ngga ada salahnya kamu menyukai seseorang, apalagi menyukai seorang lelaki, itu hal normal Ceu..” kata Karlin dengan kedua alis bertaut dan kening berkerut..
“.. Masalahnya…” Emma menjawab, kemudian terdiam, dia memencongkan bibirnya tanda ada kekecewaan. Emma kembali menatap kedua sahabatnya bergantian yang menunggunya sambil menatap dengan mata tak berkedip..
“..Masalahnya.. dia sudah berkeluarga.. aahh..” Emma berkata dan sedikit melolong di ujung kalimatnya, kembali menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Daffa dan Karlin sama-sama senyum kecut dan memalingkan wajah, kemudian ketiga sama-sama tertawa..
Selanjutnya Emma menceritakan hampir setiap hari Daeng Dadin menjemputnya di losmen dan mengajaknya berkeliling mengendarai mobil pick-up nya dan menceritakan semua budaya Toraja, termasuk dia menceritakan kejadian saat Daeng Dadin mengajaknya ke Londa dan Passiliran atau makam dimana mayat-mayat disimpan begitu saja tanpa dikuburkan, pertama melihat Londa jantung Emma serasa mau copot dia kaget dan limbung tetapi tangan kekar Daeng Dadin menangkap dan merengkuhnya dalam sebuah pelukan. Daeng Dadin juga pernah mengajaknya ke peternakan lembu milik keluarganya dan mengajaknya mengendarai kuda untuk berkeliling, tapi Emma tidak bisa berkuda dimana akhirnya mereka berkeliling jalan kaki, kadang tanpa ragu Daeng Dadin menggenggam tangan Emma jika mereka melewati jembatan kecil. Semua peristiwa itu semakin menumbuhkan rasa kagum di hati Emma, rasa kagum yang perlahan menumbuhkan rasa suka dan nyaman jika berada di dekatnya dan rasa rindu bila berjauhan..
Emma bercerita dengan begitu intens sehingga kedua sahabatnya rela menjadi pendengar yang baik. Mereka seperti sedang menonton sebuah tayangan kebudayaan besar turun-temurun yang disana terdapat seorang satria piningit yang tampan atletis baik hati dan siaga, Emma juga menceritakan dirinya pernah diajak ke rumah besar Daeng Dadin yang disebut Rumah Tongkonan, Emma juga dikenalkan pada istrinya Daeng Dadin, perempuan cantik berkulit putih semampai yang sehari-hari kerja sebagai pegawai negeri sipil di kantor Kabupaten Tana Toraja. Daeng Dadin memperkenalkan Emma sebagai seorang jurnalis dari pulau jawa yang ingin mempelajari kebudayaan Toraja.
Selesai bercerita Emma memandangi kedua sahabatnya bergantian, kedua tangannya ditautkan diatas meja, Dafa duduk, dalam senyum dan memain-mainkan garpu di piring fruit pie, Karlin memandangi Emma juga senyum, senyum penuh pehamanan tentang perasaan sahabatnya yang sedang mulai jatuh cinta tapi keliru tujuan.
“..Kenapa ya pria-pria baik selalu sudah punya pasangan..” gumamnya, matanya menerawang menatap tiang-tiang penyangga gazebo yang berjajar simetris.
“..Hayu ah kita tidur..” Karlin tiba-tiba berkata ditengah jeda komunikasi mereka. Mereka bertiga bersepakat tidur bersama di hotel itu, kamar ukuran deluxe dengan dua tempat tidur ukuran king cukup untuk mereka bertiga.
Malam semakin larut, udara semakin dingin, rinai kabut kota Bandung mulai turun membias di lampu-lampu jalan hingga cahayanya temaram, musik masih mengalun, saxophone mengalunkan interlude lagu you makes me brand new saat mereka memasuki lift menuju lantai dua.
Malam semakin larut, udara semakin dingin..