REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Wahyudi Indrawan (Peneliti Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS))
Wakaf merupakan bagian dari syariat Islam dan telah dipraktikkan secara luas sepanjang 14 abad peradaban Islam. Meskipun ibadah wakaf tidak bersifat wajib, namun kontribusinya sangat besar bagi peradaban Islam pada berbagai bidang, baik bidang dakwah (wakaf masjid), bidang pertanian (wakaf lahan Khaibar oleh sahabat Umat bin Khattab), bidang pengairan (wakaf sumur sahabat Utsman bin Affan), bidang pendidikan (Universitas Al-Azhar Mesir, pondok pesantren), bidang kesehatan (rumah sehat Dompet Dhuafa), dan bidang lainnya.
Keberhasilan pengelolaan wakaf hingga mampu berdampak bagi pembangunan sangat terkait erat dengan dukungan pemerintah, baik dari sisi regulasi, anggaran, hingga pembinaan. Sebaliknya, dukungan pemerintah yang minim dapat menghambat perkembangan wakaf. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam studi empiris yang dilakukan oleh Huda et. al. (2017), bahwa dukungan pemerintah yang merupakan salah satu faktor yang dirasakan perlu diperkuat untuk mengembangkan sektor perwakafan, khususnya di Indonesia.
Berangkat dari hal di atas, Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) yang dicanangkan pemerintah pada 25 Januari lalu dapat dimaknai sebagai suatu bentuk dukungan nyata pemerintah kepada sektor perwakafan. Meskipun diwarnai pro dan kontra, pencanangan GNWU pada akhirnya membuka diskursus mengenai perwakafan di masyarakat yang sebelumnya mengenal wakaf sebatas 3M (masjid, madrasah, dan makam).
Pada saat bersamaan, terdapat juga pihak yang menyatakan bahwa kehadiran GNWU justru dapat mengancam perekonomian. Hal ini dapat ditemui dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) yang dimuat pada kanal kedaipena.com dengan judul “Wakaf Uang dan Dampak Negatif Bagi Ekonomi, Surat Terbuka Kepada Menkeu”.
Melihat hal tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diklarifikasi terkait dengan pernyataan di dalam artikel tersebut. Pertama, penulis artikel menyatakan bahwa pemerintah perlu menjelaskan posisi wakaf uang yang akan dikumpulkan pemerintah di dalam struktur penerimaan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini mengingat bahwa: i) wakaf uang bersifat sukarela, berbeda dengan pungutan pajak maupun non-pajak yang bersifat wajib; ii) wakaf uang juga tidak bisa menjadi hibah karena rakyat tidak bisa memberikan hibah pada negara.
Berkaitan dengan hal di atas, perlu dijelaskan bahwa wakaf uang yang hendak dikumpulkan dari GNWU merupakan sumbangan bersifat sukarela dari Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan dikelola sebagai wakaf oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), artinya pokok dari uang yang disumbangkan akan dijaga akan tetap nilainya bahkan berkembang melalui investasi. Investasi ini oleh BWI diarahkan menuju Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) atau sukuk negara yang dananya berasal dari dana wakaf uang.
Sukuk negara, atau resminya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di dalam struktur anggaran pemerintah akan berposisi sama dengan obligasi atau Surat Utang Negara (SUN) adalah sebagai pembiayaan bagi proyek pemerintah maupun penyertaan pada Barang Milik Negara (BMN) dengan akad syariah, sebagaimana UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dengan kata lain, GNWU bukanlah penerimaan negara tetapi pembiayaan bagi pemerintah yang setiap periode harus dibayarkan imbal hasil oleh pemerintah. Investasi dari dana wakaf uang pada SBSN juga sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, pada Pasal 48 ayat 2.
Kedua, penulis juga menyatakan bahwa jikapun wakaf uang dari GNWU ini dimasukkan ke dalam SBSN, maka tidak akan relevan bagi perekonomian karena kunci dari dampak pembiayaan defisit terhadap perekonomian adalah nominalnya, bukan sumber pembiayaannya. Namun demikian, perlu disadari bahwa dampak dari pembiayaan melalui CWLS dapat lebih luas dari dampak perekonomian semata. Hal ini mengingat bahwa return CWLS yang diterima oleh BWI akan digunakan untuk program sosial kemasyarakatan.
Hal ini telah berjalan pada CWLS seri pertama yang return-nya digunakan oleh BWI untuk pembiayaan Rumah Sakit Mata Achmad Wardi di Serang, Banten. Maka, apabila pengelolaan return dari CWLS dioptimalkan oleh BWI sebagai nazhir/pengelola wakaf, potensi manfaat bagi kesejahteraan dapat menjangkau dimensi pembangunan yang lebih luas.
Ketiga, penulis menyatakan bahwadana wakaf uang yang menjadi target pemerintah diasumsikan sebagai dana yang sudah berada di dalam perbankan sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK). Oleh karena itu, penggunaan dana tersebut pada gilirannya tidak memberikan dampak makroekonomi karena tidak ada penambahan uang agregat dan pada gilirannya tidak berdampak bagi perekonomian.
Namun demikian, asumsi ini masih dapat diperdebatkan karena pada kenyataannya banyak mayoritas nazhir wakaf uang yang terdaftar di BWI adalah nazhir yang berbentuk Baitul Mal wat Tamwil (BMT) atau Koperasi Syariah yang menangani sektor mikro dan umumnya tidak bankable. Maka dana wakaf uang yang hendak dikumpulkan tidak sepenuhnya merupakan DPK perbankan.
Di samping itu, hal yang esensial dari pengelolaan wakaf uang ini bukanlah nominal uangnya semata, namun juga dampak dari pengelolaan uang tersebut. Jika uang di perbankan yang mengendap digunakan untuk aktivitas produktif pemerintah melalui CWLS dan return-nya kemudian disalurkan pada program sosial kemasyarakatan oleh nazhir, maka tentu dampaknya tidak hanya berdimensi makroekonomi namun lebih bersifat multidimensi.
Keempat, penulis menyatakan bahwa gerakan wakaf uang yang dikumpulkan negara dapat menyebabkan crowding out effect, yakni kondisi ketika lembaga keuangan mengalami kesulitan likuiditas akibat masifnya pembiayaan negara yang diambil dari sumber dana dalam negeri. Kondisi tersebut akan menyebabkan kenaikan tingkat suku bunga sehingga pembiayaan bagi sektor swasta akan melambat dan pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, asumsi ini juga bisa diperdebatkan. Pertama, secara umum wakaf uang bisa disalurkan pada sektor swasta produktif selama bersesuaian dengan syariah. Bahkan, karena dananya berasal dari wakaf yang mana wakifnya tidak menuntut return, maka sebetulnya justru perbankan mendapatkan dana dengan cost of fund (biaya dana) yang hampir nihil sehingga dapat mendorong pembiayaan bagi sektor swasta yang “murah”.
Jikapun kemudian wakaf uang ini kemudian disalurkan pada CWLS dari pemerintah sehingga ada potensi crowding out effect dapat dimentahkan karena kondisi pandemi saat ini terjadi fenomena peningkatan DPK lebih cepat dari kredit. OJK mencatat pada November 2020, dua rasio yang mencerminkan perbandingan antara simpanan dan pembiayaan/kredit, yaitu LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan konvensional dan FDR (Financing to Deposit Ratio) perbankan syariah berada pada angka di bawah 100 persen.
Dengan kata lain, di setiap Rp 100 simpanan nasabah, jumlah kredit atau pembiayaan yang disalurkan perbankan tidak sampai Rp 100. Artinya, masih ada dana di perbankan yang bisa digunakan untuk pembiayaan yang jika faktor risiko akibat pandemi dikesampingkan, potensi penyaluran dana dari perbankan masih sangat dimungkinkan termasuk melalui mekanisme wakaf uang.
Kelima, penulis mempermasalahkan data mengenai potensi wakaf uang yang oleh Presiden dikatakan mencapai Rp 2.000 triliun, sementara dana di perbankan tercatat mencapai Rp 6.600 triliun menurut OJK pada November 2020. Terkait hal ini, pada dasarnya potensi wakaf uang tidaklah mutlak angkanya karena bergantung pada asumsi yang digunakan.
Nasution dan Hasanah (2006) menyatakan bahwa potensi wakaf uang mencapai Rp 3 triliun per tahun dengan 10 juta jiwa Muslim dermawan dengan pendapatan Rp 500.000 hingga Rp 10 juta berdonasi wakaf secara rutin. Sementara itu, BWI sebagaimana dikutip BKF Kemenkeu RI (2019) mencatat potensi wakaf uang mencapai Rp 180 triliun. Terlepas dari itu semua, yang terpenting bagaimana merealisasikan potensi itu karena permasalahan gap antara potensi dan realisasi masih menjadi isu utama sektor perwakafan.
Gerakan Wakaf Uang yang dicanangkan haruslah didukung sebagai wujud untuk memperkuat sektor perwakafan dan dampaknya bagi pembangunan. Namun demikian, diskusi kritis terhadap perkembangan perwakafan harus pula dilakukan agar inovasi perwakafan dapat terus lahir, tanpa perlu mendiskreditkan kehadiran wakaf itu sendiri di masyarakat.