REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dunia Maya terus diwarnai kegaduhan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai belum mampu meredam kegaduhan itu. Karena itu, edukasi ruang publik harus terus diberikan kepada masyarakat untuk menciptakan dunia maya yang sehat.
Pengamat media sosial, Ismail Fahmi mengatakan sebetulnya polisi sebagai aparat penegak hukum dapat melakukan edukasi kepada masyarakat khususnya dari Cyber Crime Polri. Karena menurutya jika misalnya ada orang yang melanggar UU ITE, tentunya bisa ditegur terlebih dahulu oleh polisi, tidak langsung ditangkap.
"Itu salah satu edukasi melalui aparat kepolisian. Dari situ kemudian orang-orang yang mengikuti akun-akun milik Polri ini kan kemudian akan belajar. 'oh ternyata yang seperti ini yang melanggar'. Dari situ saja sebenarnya termasuk dalam proses belajar langsung, jadi penegak hukum mengedukasi masyarakat,” ujar Ismail Fahmi akhir pekan lalu.
Nantinya menurut Fahmi, masyarakat juga bisa lapor atau bertanya kepada akun resmi kepolisian misalnya, 'Min yang seperti ini melanggar UU ITE atau tidak?'. Yang kemudian bisa dijawab apakah hal tersebut melanggar UU ITE atau tidak. Menurutnya, jika hal tersebut betul-betul dijalankan maka akan sangat bagus karena akan membuat masyarakat belajar dengan sendirinya.
"Memang saat ini banyak orang saling lapor menggunakan UU ITE ini. Tetapi sebelum ada UU ITE ini pun juga sudah demikian, menggunakan KUHP. Seperti menggunakan pasal perbuatan tidak menyenangkan untuk melaporkan orang lain," kata Founder dan Penggagas aplikasi Drone Emprit, sebuah sistem berfungsi memonitor dan menganalisa media sosial berbasis big data ini.
Fahmi menyebut sebetulnya penipuan elektronik itu ada banyak sekali dan hal itu sebenarnya bisa diselesaikan dengan UU ITE. Hanya saja saat ini yang banyak dibahas di media justru pelaporan orang menggunakan UU ITE ini. Hal ini lantaran karena idealnya semua orang sama di depan hukum, namun dalam kenyataan kadang-kadang tidak seperti itu.
"Misalnya ’Kok yang gini nggak diproses tapi yang itu yang lebih sepele kok malah diproses’. Inilah yang kemudian membuat masyarakat menjadi tidak puas. Makanya ini yang kemudian membuat banyak masyarakat protes karena penerapan UU tersebut yang tidak bisa adil. Yang seharusnya tidak kena malah kena, yang harusnya kena malah lolos. Itulah kemudian yang menjadi keberatan," ungkap peraih doktoral bidang sains informasi dari Universitas Groningen, Belanda ini.
Apalagi ia mengungkapkan jika dilihat dari statistiknya justru banyak dari pejabat dari pemerintah itu sendiri yang melakukan pelaporan. Menurutnya hal ini terjadi bukan karena kurangnya literasi digital saja, tapi memang masyarakatnya yang kurang paham tentang hukum makanya tidak melaporkan.
"Jadi masyarakat sebenarnya perlu dikasih tahu juga bagaimana supaya kemudian tidak sampai terkena UU ITE ini. Karena kadang-kadang dia tidak tahu informasi yang diterima itu hoaks kemudian dia share. Dan kebetulan polisi juga lagi patroli untuk bersih-bersih, akhirnya ya kena dan ketangkep," terang pria yang juga Dosen Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Untuk itu menurutnya, strategi paling dekat yang bisa dilakukan oleh masyarakat agar terhindar dari UU ITE ini bukan mengajari, bukan mengedukasi seluruh pengguna untuk bisa aman, karena kalau dicari-cari kesalahan pasti dapat. Tapi kuncinya ada pada aparat penegak hukum itu sendiri, karena aparat penegak hukum sebetulnya bisa menerima atau menolak setiap pelaporan.
"Orang mengkritik misalnya karena dia nggak puas dengan perusahaan atau lainnya, itu kan kalau dilaporkan dan laporannya diterima oleh polisi maka langsung kena. Tapi kalau kemudian lebih selektif, dipanggil dulu tidak sampai diproses itu kan sebetulnya bisa. Jadi ya itu, saya kira yang paling dekat yang bisa dilakukan sebelum revisi UU ITE ini," ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa terkait hal ini (edukasi) juga tidak bisa melibatkan influencer. Karena yang dibutuhkan masyarakat itu penjelasan dari pihak berwajib, pengetahuan tentang UU ITE itu sendiri. Apalagi influencer atau buzzer saat ini sekarang identik dengan politik dan polarisasi politik. Polarisasi ini diciptakan dengan andil buzzer yang mana akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat sendiri.
"Mereka kan dibayar untuk mengangkat citra tuannya dan menyerang lawannya, kedua belah pihak sama dan akhirnya mau tidak mau ya terjadi polarisasi. Pemerintah pun juga sama, sudah ada bagian Humas, ada bagian PR, tidak perlu lagi ada buzzer untuk membantu mempromosikan," katanya.