REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie menilai, sikap pemerintah membatalkan pembahasan RUU Pemilu menunjukkan ketidakseriusan membenahi sistem kepemiluan. Terlebih, jika menariknya dari Prolegnas 2020-2024.
Pemerintah melalui Menkumham menyebut salah satu alasan pembatalan pembahasan RUU Pemilu tidak lain merasa belum mendesak untuk membahas RUU Pemilu. Padahal, Gugun berpendapat, ada banyak hal-hal yang bisa dibenahi melalui RUU Pemilu.
Pertama, tentang kepastian hukum pemilu serentak. Jika mengacu UU Nomor 7 Tahun 2017, maka sangat tidak logis dalam satu tahun ada pelaksanaan pemilu nasional dan enam bulan berikutnya ada pelaksanaan pemilu lokal atau pilkada.
"Ini akan mengancam kualitas demokrasi, keselamatan nyawa penyelenggara, potensi benturan tahapan pemilu yang bisa melahirkan kecurangan," kata Gugun, Selasa (9/3).
Kedua, soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yang masih melanggengkan oligarki. Tanpa RUU Pemilu, ambang batas pencalonan sangat menutup kesempatan generasi bangsa tampil di panggung kepemimpinan politik nasional.
Selain itu, ia melihat, mencederai prinsip-prinsip pemilu demokratis, menghambat prinsip kesetaraan dalam hak-hak untuk dipilih. Ketiga, penarikan ini menunjukkan pemerintah dan DPR tidak memiliki arah politik hukum kepemiluan yang visioner.
Gugun berpendapat, semua undang-undang pemilu dan turunannya bersifat pragmatis jangka pendek dan tidak menjangkau arah politik hukum ius constituendum. Kepentingan yang ada hanya sektoral partai politik yang dibajak kaum oligarki.
"Membuat politik hukum kepemiluan tidak relevan dengan dinamika demokrasi Indonesia," ujar Sekprodi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga tersebut.