REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Proses pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang telah dilakukan selama pandemi ini telah menimbulkan problem yang tidak sedikit. Salah satunya adalah terjadinya jurang kesenjangan yang sangat tinggi antara anak-anak di kota dan desa.
"Kesenjangan ini mengakibatkan learning poverty yang lebih riskan dialami oleh masyarakat miskin maupun yang tinggal di pulau terluar," kata pemerhati pendidikan Muhammad Nur Rizal saat talkshow 'Sekolah Daring Bikin Garing' di TVRI Yogyakarta, Selasa (9/3).
Selain itu, problem lainnya di antaranya adalah proses pembelajaran tanpa interaksi yang mengakibatkan anak stres dan lelah, serta kemungkinan meningkatnya angka putus sekolah. Permasalahan-permasalahan tersebut jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat pada kemungkinan terjadinya hilangnya generasi (lost generation).
"Kami menyarankan kepada kementerian untuk mengubah paradigma pendidikan dari penyeragaman dan kepatuhan kepada konten akademik ke pendidikan yang lebih mengembangkan penalaran kritis dan empat sosial yang tinggi agar anak menjadi lebih bahagia sekaligus kompetitif di masa depan," kata Rizal yang merupakan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu.
Rizal mengingatkan proyeksi World Economic Forum (WEF) yang menyatakan bahwa kompetensi yang diperlukan di masa depan sudah jauh berubah dari kompetensi yang dibutuhkan di masa lalu. Beberapa kompetensi tersebut adalah kemampuan memecahkan persoalan kompleks (complex problem solving), kemampuan berpikir kritis (critical thinking), dan kemampuan berkoordinasi dengan orang lain.
"Penguasaan akademik sendiri hanya 10 persen, sehingga porsinya sudah seharusnya dikurangi dalam kurikulum pendidikan kita," kata Rizal.
Perubahan paradigma tersebut harus dilakukan secara holistik dengan mengubah berbagai macam regulasi yang mendorong penguasaan konten akademik yang berlebihan seperti dihapusnya Ujian Nasional (UN) serta berbagai macam bentuk ujian lainnya yang segera digantikan dengan model evaluasi yang berbasis umpan balik terkait proses belajar siswa.
"Agar kebijakan ini sejalan maka perlu koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dengan daerah agar kebijakan dapat dijalankan dengan benar dan baik," kata Rizal.
Menurut Rizal, pandemi seharusnya tidak menjadi halangan untuk melakukan perubahan paradigma ini mengingat interaksi belajar seharusnya memang tidak hanya antara siswa dengan guru di sekolah namun juga antara siswa dengan lingkungan sekitarnya, baik di rumah maupun di masyarakat. Ia yakin ketika baik guru maupun orang tua tidak dibebani oleh kurikulum yang memasung maka mereka memiliki kemampuan natural untuk menjadi seorang pendidik.
"Hal ini sesuai dengan visi Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa pendidikan tidak seharusnya diisi dengan pengetahuan semata, namun pendidikan seharusnya menuntun murid pada tiga kodrat manusia yakni rasa ingin tahu yang tinggi, imajinasi untuk berinovasi, serta keberagaman potensi minat dan bakat," kata dosen Universitas Gadjah Mada itu.