Rabu 07 Apr 2021 06:08 WIB

Sosialisasi Potensi Bencana Siklon Tinggi Perlu Ditingkatkan

Indonesia berpeluang terdampak siklon tropis dengan level bencana berbeda.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Foto udara kerusakan akibat banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (6/4/2021). Cuaca ekstrem akibat siklon tropis Seroja telah memicu bencana alam di sejumlah wilayah di NTT dan mengakibatkan rusaknya ribuan rumah warga dan fasilitas umum.
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Foto udara kerusakan akibat banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (6/4/2021). Cuaca ekstrem akibat siklon tropis Seroja telah memicu bencana alam di sejumlah wilayah di NTT dan mengakibatkan rusaknya ribuan rumah warga dan fasilitas umum.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Fakultas Geografi UGM, Dr Emilya Nurjani menyebut, banyak daerah di Indonesia memiliki peluang terdampak siklon tropis. Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu daerah yang sudah dilanda dampak bencananya.

Untuk itu, ia merasa, sosialisasi bencana yang ditimbulkan siklon masih perlu ditingkatkan. Lalu, memperkuat konstruksi bangunan, membuat prosedur darurat dan meningkatkan penelitian prediksi siklon untuk mengurangi dampak bencana.

"Di Indonesia, evakuasi bencana angin kencang dan storm surge belum umum dilakukan, tapi dalam rangka mitigasi dan adaptasi sebaiknya mulai dikenalkan mengingat proyeksi peningkatan suhu muka laut ke depan akan menyebabkan peningkatan peluang terjadinya siklon tropis," kata Emilya, Selasa (6/4).

Indonesia berpeluang terdampak siklon tropis dengan level bencana berbeda. Di perairan selatan akan timbulkan dampak lebih besar bagi pesisir selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, dibandingkan pesisir timur Sumatera atau Kalimantan.

Siklon tropis di utara akan timbulkan hujan lebih lebat sekitar Sulawesi dan Kalimantan, sehingga bencana yang ditimbulkan tiap daerah juga akan berbeda. Karenanya, pengetahuan bencana sebaiknya disosialisasikan ke seluruh daerah.

"Sesuai potensi bahaya yang ada di daerah masing-masing," ujar Emilya.

Ia menjelaskan, siklon tropis 99S yang terbentuk di sekitar Laut Sawu yang akibatkan cuaca ekstrem di Pulau Timor merupakan bentuk formasi sistem badai tropis besar dan berkembang di atas perairan hangat dekat wilayah ekuator.

Pertumbuhan siklon sendiri membutuhkan uap air hangat yang tersedia di wilayah antara 5-30 derajat di lintang utara dan lintang selatan bumi. Serta, efek coriolis yang merupakan implikasi dari gerak rotasi bumi dalam sumbunya.

"Efek coriolis menyebabkan angin mengalami pembelokan pergerakannya. Semakin besar lintangnya, semakin besar pembelokan angin yang terjadi, sehingga di daerah ekuator atau lintang nol efek ini tidak ada," kata Emilya.

Pertumbuhan siklon dimulai dari gangguan tropis, depresi tropis, badai tropis dan menjadi siklon tropis. Pada saat pertumbuhan mencapai badai tropis itulah siklon dimulai dengan kecepatan angin mencapai 64 knot atau 74 meter per jam.

Dampak yang ditimbulkan berupa hujan yang sangat lebat, angin kencang dan gelombang laut besar atau storm surge. Beberapa penelitian menyebutkan wilayah terdampak bisa mencapai 50 kilometer dari pusat siklon.

Emilya menilai, peluang terbentuk siklon di Indonesia sebenarnya cukup kecil lantaran suhu permukaan laut rendah dan efek coriolis kecil. Namun, beberapa tahun terakhir siklon semakin sering terbentuk, terutama pada masa transisi.

"Hal ini ditengarai akibat perubahan iklim yang meningkatkan suhu permukaan laut. Di perairan selatan dan utara Indonesia cukup banyak siklon terbentuk, dalam setahun bisa 5-8 siklon dengan kecepatan dan dampak berbeda," ujar Emilya.

Sejak adanya Tropical Cyclone Warning Centre (TCWC) deteksi dini siklon telah dilakukan baik. Bibit siklon dapat dideteksi citra satelit atau radar saat bibit siklon terbentuk dengan tingkat perkembangan sebagai gangguan tropis.

Arah pergerakan dan kecepatan bisa dideteksi, jadi bisa diperkirakan waktu dan kecepatan siklon tiba di daratan sebagai mitigasi. Masih ada kesulitan karena siklon kadang balik arah dan kesiapan mitigasi tiap daerah berbeda.

"Perlu kerja sama yang lebih solid lagi antara BMKG yang punya early warning dan pemda yang melaksanakan mitigasi di daerah masing-masing," kata Emilya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement