REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kekerasan terhadap perempuan dan anak di tengah masyarakat tidak mengenal pandemi Covid-19. Sebaliknya di masa sulit akibat pandemi, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak terus dilakukan dan masih terjadi di berbagai daerah di Jawa Tengah.
Sehingga dibutuhkan strategi perlindungan terpadu di tingkat pemerintahan terkecil (desa/kelurahan) agar berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan terkecil masyarakat bisa dicegah.
Hal ini terungkap dalam lokakarya daring ‘Pengembangan Pedoman dan Mekanisme Rujukan Masyarakat’ yang digelar Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jateng beserta Yayasan Setara dan UNICEF, Rabu (14/4).
Lokakarya ini diikuti perwakilan 225 desa/kelurahan terpilih dari 10 daerah. Seperti dari Kota Surakarta, Kabupaten Klaten, Sragen, Blora, Wonosobo, Brebes, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Rembang.
Dalam kesempatan itu, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Nahar mengatakan, upaya pencegahan terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak terus dilakukan, kendati di tengah pandemi.
Salah satunya melalui program Safe and Friendly Environment for Children (Safe4C) yang merupakan kerja sama DP3AP2KB, Yayasan Setara, dan UNICEF untuk mendukung terciptanya penguatan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak di 10 kabupaten/kota di Provinsi Jateng.
Menurutnya, strategi perlindungan anak tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor saja. Namun butuh keterlibatan berbagai pihak, kelompok, serta komunitas di desa atau kelurahan untuk bergerak bersama. “Dengan begitu akan terbangun sistem pelaporan yang terintegrasi sampai tingkat nasional,” katanya.
Ia menambahkan, reformasi manajemen kasus yang melibatkan anak harus dilakukan secara besar-besaran. Di sisi lain pengembangannya kini diarahkan ke tingkat desa/kelurahan.
Apalagi di masa pandemi korban anak justru meningkat. “Maka strategi perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat harus bisa mencakup pencegahan terhadap kekerasan, mengatasi persoalan, serta masyarakat juga tidak gagap ketika merespons kasus,” tegasnya.
Koordinator Desa Inklusif dan Desa Adat Direktorat Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan (PSBLDP) Ditjen PDP, Kemendes, Sri Wahyuni mengatakan, desa ramah lingkungan dan peduli anak bisa dibentuk di berbagai daerah.
Makanya pendataan desa mencakup layanan perlindungan perempuan dan anak yang bisa dimaksimalkan. Selain itu, desa juga memiliki organisasi perempuan dan anak. Sehingga tiap desa bisa memiliki layanan hukum bagi perempuan dan anak.
“Lembaga yang sudah ada saat ini bisa dimaksimalkan di desa. Baik lembaga di tingkat perempuan maupun anak di desa, lembaga yang ada tersebut bisa dioptimalkan dalam memperkuat sistem perlindungan,” ungkapnya.
Kepala DP3AP2KB Jateng, Retno Sudewi menambahkan, hasil sensus penduduk 2020 di wilayah setempat sampai September 2020 ada 36,2 juta jiwa. Persentase penduduk yang produktif mencapai 76 persen.
Secara komposisi, anak-anak di Jateng terdiri dari kelompok milenial sebanyak 24,3 persen. Ada juga generasi Z sebanyak 25,31 persen. “Banyaknya anak-anak di generasi milenial dan generasi Z juga berbanding lurus dengan angka kekerasan di Jateng,” jelasnya.
Ia mencatat sepajang 2018 kekerasan anak mencapai 452, pada 2019 kekerasan anak mencapai 503 dan pada 2020 ada 516 kasus. Dari data itu, jumlah yang terbesar merupakan kekerasan seksual.
Di medsos banyak sekali kejadian yang terjadi, terutama selama masa pandemi ini. Selain itu, ada juga banyak ajakan perkawinan anak. Data perkawaninan anak pada 2019 sebanyak 672 untuk yang laki-laki, sementara perempuannya mencapai 1.027.
Pada masa pandemi, angka itu juga naik. Tercatat pada 2020 ada perkawinan anak 1.671 untuk laki- laki. Sementara perempuannya mencapai 11.301. “Tentang perundangan, sudah ada perda perlindungan anak dan kita akan amandemenkan, termasuk nanti memasukan perkawinan anak di dalamnya,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, Pemprov Jateng melalui program Jo Kawin Bocah juga menjadi harapan menekan angka perkawinan anak. Termasuk juga melatih anak-anak untuk menjadi agen bagi teman sebayanya, melatih mereka untuk lebih waspada dan mengetahui pentingnya hak anak.
Tokoh masyarakat juga dilibatkan agar perkawinan anak bisa kita cegah. Termasuk nantinya kontribusi para ibu di desa. Kolaborasi ini bisa kita lakukan, ketika terintegrasi dengan anak dalam masyarakat.
“Termasuk adanya komunitas, akademisi, dunia usaha, bahkan media. Sinergi di desa membentuk mereka lebih kuat, serta peran komunitas atau lembaga yang dilakukan secara terpadu,” tambahnya.
Sementara Kepala Kantor Perwakilan UNICEF Pulau Jawa, Ermi Ndoen menjelaskan, populasi anak di Jateng cukup tinggi. Selama pandemi ini mereka banyak mengalami berbagai perubahan. “Salah satunya akses pelayanan bagi anak-anak,” jelas dia.