REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Pembelajaran jarak jauh (PJJ) dinilai telah menurunkan kualitas pendidikan, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Sejumlah riset lembaga internasional seperti UNICEF dan UNESCO akhir Maret lalu menyebutkan 124 juta anak-anak di seluruh dunia telah kehilangan kemampuan membaca.
"Ini disebabkan karena pandemi Covid-19. Jadi ini sesuatu yang amat serius bagi dunia pendidikan saat ini," kata pakar pembelajaran daring, Hary Candra, dalam diskusi virtual dengan wartawan, beberapa waktu lalu.
Menurut Hary, salah satu penyebab turunnya kualitas pendidikan tersebut dikarenakan rata-rata guru memakai bahan ajar yang hanya cocok untuk kondisi pembelajaran tatap muka, yaitu buku cetak. Menurutnya, buku cetak tetap memiliki keuntungan tersendiri, tetapi bahan ajar digital sangat dibutuhkan untuk melengkapi buku cetak.
"Saya tidak mengatakan digital menggantikan cetak, tetapi kalau buku cetak dibuat jadi PDF itu pembelajaran era 1.0," ujar Co-Founder dan Chairman PesonaEdu tersebut.
Hary menuturkan guru harus bisa memanfaatkan media digital yang bisa menguntungkan proses pembelajaran. Bagaimanapun, ujarnya, media digital bisa lebih menarik perhatian siswa. "Betapa menariknya jika dalam pelajaran terdapat ada animasi, dan digital interaktif, sehingga PJJ bukan menjadi suatu yang horor atau sangat mengerikan lagi. Sebaliknya, anak pasti sangat senang," katanya.
Selain terdapat penurunan kemampuan pembaca pada anak-anak di seluruh dunia, Hary juga menyebut riset dari Ivy League yaitu asosiasi dari delapan perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat (AS) termasuk Harvard University dan Columbia University. Riset dilakukan terkait hasil penerimaan seleksi masuk di kedelapan universitas tersebut.
"Hasil riset menunjukkan terjadi penurunan drastis jumlah mahasiswa yang diterima," kata Hary.
Dari riset Ivy League, pandemi Covid-19 membuat rendahnya tingkat penerimaan mahasiswa tahun ini untuk masuk ke kampus-kampus elite di AS. Misalnya, Harvard University hanya menerima 1.968 kandidat (3,4 persen) dari 57.435 pendaftar. Tingkat penerimaan terendah sebelumnya adalah 4,6 persen pada dua tahun lalu.
Sementara Columbia University di New York sebagai perguruan tinggi tersulit kedua untuk dimasuki di antara Ivy League mencatat hanya 3,7 persen dari 60.551 siswa pendaftar yang diterima atau turun dari 6,1 persen tahun lalu.
"Kita saat ini menghadapi risiko yang sama tidak enaknya. Kalau masuk (tatap muka) risiko menghantui, bisa kena Covid-19. Tetapi kalau ditutup, pendidikan mengalami kemunduran," kata Hary.