REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa sesungguhnya tidak hanya mengajarkan menahan nafsu, tetapi puasa adalah perisai atau benteng dari perbuatan yang buruk. Maka ketika ada berita hoaks, informasi yang menghasut, mengadu domba dan memprovokasi jadikan puasa yang sedang dijalani dalam bulan ramadhan ini sebagai benteng.
Guru Besar bidang Psikologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Achmad Mubarok mengatakan bahwa sejatinya puasa dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama adalah puasa orang awam atau puasa orang biasa yang hanya meninggalkan makan dan minum.
"Nah selama puasa ini mereka biasanya tetap menyebarkan berita hoaks, adu domba orang. Jadi puasa itu hanya tidak makan dan tidak minum. Itu nilai puasa yang paling rendah dan masyarakat kita masih banyak yang di situ," ujar Prof Achmad Mubarok beberapa waktu lalu.
Kemudian dirinya melanjutkan, yang kedua ada namanya puasa khusus. Yaitu puasa yang bukan hanya melulu menahan diri dari makan dan minum tetapi seluruh anggota badan menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas dikerjakan. Menahan diri dari berbicara bohong, mengadu domba, saling fitnah. Seluruh anggota tubuh berpuasa dan menjauhi keburukan. Menurutnya puasa yang bermutu adalah yang seperti itu.
"Dan jarang yang berpuasa berkualitas seperti ini. Dan puasa seperti inilah yang berpengaruh kepada pembentukan karakter manusia," jelas anggota MPR RI periode 1999-2004 itu.
Lebih lanjut dirinya kembali menjelaskan bahwa yang ketiga ada yang namanya puasa super khusus, yang mana ini adalah puasa tertinggi. Bukan hanya anggota badan yang menahan diri namun hati pun juga ikut berpuasa dari ingatan selain allah. Sehingga ia menyebut bahwa selama berpuasa tidak pernah terlintas pikiran buruk ataupun rencana jahat.
"Yang ada ingat kepada Tuhan, menyebut nama tuhan dan ini jarang sekali ada orang yang bisa berpuasa seperti ini. Jadi kalau untuk masyarakat saya kira yang bisa diterapkan itu puasa yang kedua itu. Kemudian kurangi aktifitas yang tidak diperlukan dan memilih hal-hal yang betul-betul baik, itu bisa yang produktif untuk membangun karakter manusia," kata Achmad.
Selain itu, pria yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat periode 2007-2012 ini juga mengungkapkan bahwa dengan adanya era Teknologi Informasi (IT) saat ini, hal ini juga menimbulkan kerusakan budaya yang luar biasa di masyarakat. Hingga ia menyebut sampai nanti suatu saat akan ada muncul era kebijaksanaan (wisdom).
"Era wisdom itu nanti ketika orang sudah sangat muak kepada keburukan, muak kepada kebohongan, muak kepada hoaks. Itu nanti akan muncul era wisdom, tapi itu masih akan lama. Karena sekarang orang masih menikmati era IT ini," tuturnya.
Oleh karena itu menurutnya, munculnya hoaks ini juga adalah konsekuensi daripada munculnya IT, terutama bagi orang awam. Karena menurutnya, kalau bagi orang terpelajar, IT ini betul-betul bermanfaat, dan digunakan untuk hal-hal yang produktif. Namun bagi orang yang kurang terpelajar, IT ini hanya digunakan untuk kesenangan saja tanpa memperhatikan nilai-nilai yang ada.
"Di pesantren pengajaran nilai-nilai tentang berpuasa ini cukup bagus, karena mereka di asramakan. Sekolah yang mempunya banyak nilai-nilai tradisi itu juga bisa. Tapi kalau daring atau online itu tidak bisa karena tidak efektif. Secara akademik kuliah online hasilnya hanya sekitar 50 persen saja. Jadi agak susah," jelasnya.
Oleh karena Prof Achmad Mubarok beranggapan bahwa manusia itu sesungguhnya tidak suka kepada yang buruk, tetapi daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan. Sehingga menurutnya, kalau ada daya tarik keburukan dan kebaikan dalam satu panggung, yang menang adalah yang buruk.
"Jadi ketika media dengan bebasnya menceritakan apa saja yang terjadi, maka keburukanlah yang dominan diikuti oleh masyarakat, kebaikan tidak diikuti. Meskipun seseorang sesungguhnya suka kepada kebaikan. Itu psikologinya begitu," ujarnya mengakhiri.