REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hendi Yogi Prabowo (Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia)
Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan telah mengakibatkan berbagai permasalahan di masyarakat. Permasalahan utama tentu saja terkait dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan begitu banyak korban jiwa di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia.
Namun demikian berbagai kajian menjelaskan bahwa berbagai permasalahan lain pun muncul sebagai akibat dari pandemi ini, salah satunya permasalah kejahatan. Beberapa laporan dari berbagai lembaga dan organisasi dunia memberikan gambaran pergeseran yang telah terjadi selama masa pandemi.
Salah satu kejahatan yang mengalami pergeseran adalah kecurangan atau disebut juga sebagai fraud. Menurut para pakar kriminologi, ada beberapa skenario pergeseran kejahatan atau yang sering disebut dengan crime displacement. Pertama, kejahatan dapat bergeser dari satu lokasi ke lokasi yang lain (geographical displacement).
Kedua, kejahatan dapat bergeser dari satu waktu ke waktu yang lain (temporal displacement). Ketiga, kejahatan dapat bergeser dari satu sasaran ke sasaran yang lain (target displacement). Keempat, kejahatan dapat bergeser dari satu modus ke modus yang lain (tactical displacement). Kelima, kejahatan dapat bergeser dari satu tipe ke tipe yang lain (crime type displacement).
Mengacu teori crime displacement, banyak pakar yang berpendapat bahwa kejahatan mempunyai kemampuan beradaptasi pada upaya-upaya intervensi yang dilakukan untuk mencegah kemunculannya. Kemampuan adaptasi ini bisa sangat cepat terutama pada kejahatan yang pelakunya adalah orang-orang yang mempunyai intelektualitas tinggi seperti misalnya fraud.
Adanya protokol kesehatan seperti misalnya social distancing dan work from home (WHF) yang diterapkan di berbagai belahan dunia menjadikan perubahan pola interaksi masyarakat di mana sebagian besar interaksi telah beralih ke dunia maya atau cyberspace. Terkait dengan crime displacement, di beberapa negara perubahan ini telah menjadikan semakin menurunnya kejahatan yang melibatkan interaksi fisik antara pelaku dan korban namun menjadikan naiknya tingkat kejahatan di dunia maya (cybercrime) seperti misalnya pembajakan akun, malware, ransomware, dan berbagai jenis kejahatan cyber lainnya.
Di sisi lain, pergeseran juga terjadi pada kejahatan dalam kategori lain seperti misalnya consumer fraud. Sebagai contoh adalah semakin maraknya kejahatan penipuan investasi yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia. Ribuan orang di Indonesia telah menjadi korban janji-janji manis para pelaku penipuan yang menawarkan mimpi menggapai kekayaan dalam waktu sekejap.
Dalam kategori occupational fraud pun pergeseran tidak dapat dihindari. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) membagi kategori occupational fraud menjadi tiga kategori umum, yaitu penyalahgunaan aset (asset misappropriation), korupsi (corruption), dan manipulasi laporan keuangan (financial statement fraud).
Kasus korupsi
Laporan survei global Fraud in Wake of Covid-19, ACFE menyimpulkan bahwa berbagai jenis occupational fraud berpotensi untuk mengalami peningkatan selama masa pandemi Covid-19. Sebagai contoh adalah mulai bermunculannya kasus–kasus korupsi terkait dengan dana penanganan Covid-19, mulai dari tingkat bawah sampai pada tingkat atas di Indonesia. Bahkan pada akhir 2020 Menteri Sosial pada saat itu menjadi tersangka korupsi dana bansos Covid-19.
Mengacu pada teori routine activity, banyak pakar kriminologi berpendapat bahwa kejahatan muncul karena pertemuan antara pelaku (offender) dan korban (victim) di tempat yang tidak memiliki penjagaan keamanan (guardian). Kejahatan dengan menggunakan sarana teknologi pun juga masih mengikuti pola yang sama, perbedaan utamanya adalah bahwa lokasi kejahatan tidak hanya berada di dunia nyata tapi juga di dunia maya.
Berbagai penelitian mengungkap bahwa faktor manusia (human factor) menjadi salah satu faktor penentu utama dinamika kemunculan dan perubahan dalam tren kejahatan di masyarakat. Sebagai contoh, karakter high collectivism masyarakat Indonesia yang cenderung suka meniru apa yang dilakukan oleh orang lain tanpa berpikir panjang sering dieksploitasi oleh para pelaku kejahatan.
Seperti penipuan investasi untuk membujuk calon korbannya dengan menunjukkan bukti ‘kesuksesan’ teman, kolega, atau keluarganya yang telah mendapatkan keuntungan dari keikutsertaan mereka di dalam skema investasi yang ditawarkan. Menariknya, tidak sedikit dari para korban dari cyberfraud maupun consumer fraud adalah orang-orang yang cerdas dan berpendidikan yang semestinya bisa mengambil keputusan yang tepat dan tidak mudah dipengaruhi oleh bujuk rayu para fraudster.
Fenomena ini sering disebut oleh para ahli dengan istilah gullibility yang menggambarkan bagaimana orang pintar dapat terjebak mengambil keputusan yang ‘bodoh’ dan akhirnya menjadi korban fraud. Para pelaku fraud dengan berbagai cara akan mengeksplotasi berbagai situasi dan kondisi yang ada untuk memancing calon korbannya untuk terjebak masuk ke dalam kondisi gullibility.
Berbagi macam potensi pergeseran dalam dinamika fraud di masa pandemi Covid-19 seharusnya dapat disikapi dengan baik dengan berbagai langkah antisipasi oleh pemerintah maupun masyarakat. Selain langkah-langkah dalam pengungkapan kasus oleh aparat penegak hukum, langkah-langkah preventif terutama dalam bentuk edukasi masyarakat terutama konsumen juga perlu untuk ditingkatkan untuk menurunkan risiko semakin banyaknya korban dan kerugian dari berbagai modus fraud.