REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) menyayangkan sejumlah anggota DPRD yang menolak Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021. Sebab penolakan itu tidak didasari pada fakta di lapangan yang sesungguhnya.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah APTRI PTPN XI Jawa Timur, Sunardi Edy Sukamto mengatakan Jawa Timur adalah lumbung gula nasional dengan luas areal tanam tebu 210 ribu Hektare, menghasilkan gula rata-rata per tahun satu sampai 1,2 juta ton gula, setara 51 persen produksi gula konsumsi nasional. Kemudian kebutuhan gula konsumsi Jawa Timur 450 ribu ton per tahun terjadi surplus sebesar 550 ribu sampai 650 ribu ton per tahun.
"Kita bicarakan fakta di lapangan dan kami sangat menyayangkan DPRD Jatim sikapnya justru larut dalam kepentingan pengusaha yang menyalahi izinnya. Mestinya sebagai wakil rakyat melihat persoalan itu secara komprehensif atau menyeluruh dan bicaranya kepentingan rakyat bukan terkesan sebaliknya," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (16/6).
Namun, dia menilai berdirinya dua pabrik gula baru di Jawa Timur izinnya gula kristal putih (GKP) berbasis tebu (wajib memiliki tanaman tebu sendiri), namun selama hampir lima tahun terakhir tidak menepati janji untuk menyiapkan kebun dan tanamannya sendiri.
"Justru keberadaannya hanya memindah giling tebu yang sudah ada dan bermitra dengan Pabrik Gula sebelumnya, bahkan hanya mengharapkan commissioning import raw sugar," kata Edy.
Padahal, menurutnya, pemerintah Provinsi Jawa Timur berharap adanya pabrik baru bisa berswasembada gula. Akan tetapi, faktanya tidak menambah jumlah luas tanam dan hablur gula, justru mematikan pabrik gula yang sudah ada.
APTRI mengharapkan agar seluruh lapisan masyarakat, DPRD serta Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk lebih tenang dalam menyikapi gencarnya penolakan Permenperin itu dengan isu langkanya gula rafinasi yang membuat industri berbasis gula rafinasi panik dan kesulitan mendapatkan gula rafinasi, serta tidak larut dalam kepentingan pengusaha yang menyalahi izin.
"Kami sampaikan bahwa penjelasan kami di atas, Jawa Timur surplus dan tidak ada pabrik gula rafinasi. Karena Jawa Timur lumbung gula nasional," imbuhnya.
Menurut dia, dengan spesifikasi dan pembatasan izin impor raw sugar untuk pabrik rafinasi, maka akan lebih mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap peredaran gula sesuai jenis dan peruntukannya. Teknisnya, kebutuhan gula rafinasi di Jawa Timur bisa disuplai oleh pabrik gula rafinasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah dari 11 pabrik gula rafinasi yang mendapatkan izin impor dan beroperasi.
Sedangkan mengenai adanya isu harga gula rafinasi di Jawa Timur akan lebih mahal jika mengambil dari Jawa Barat, dia menegaskan itu tidak benar. Sebab subsidi silang ongkos angkut bisa dilakukan oleh pabrik itu sendiri yang ditugasi berdasarkan wilayah tanggung jawab penyaluran.
Kemudian, dirinya mengharapkan DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengevaluasi perizinan dua pabrik gula baru di Jawa Timur, bahkan jika perlu izinnya dicabut. Karena, dua pabrik itu sampai saat ini tidak menanam tebu untuk kebutuhan pabriknya, dan justru mengambil tebu dari para petani yang sudah bermitra dengan pabrik-pabrik gula yang sudah ada.
Dia menerangkan, dua pabrik gula baru itu mengklaim ke mitra akan membeli tebu dengan harga mahal, tapi tidak sesuai fakta di lapangan.
"Ini adalah tipu muslihat untuk mengelabui pemerintah pusat, namun sangat merugikan pemerintah provinsi Jawa Timur yang berefek pabrik yang ada tutup, menambah jumlah pengangguran serta berdampak pada menurunnya perekonomian masyarakat dan menambah angka kemiskinan," ucapnya.