REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebanyak 80 guru SMK pada bidang seni dan budaya diajak melakukan perubahan paradigma pendidikan. Corak ilmu seni budaya yang secara fitrah membutuhkan kreativitas dan kebebasan berekspresi dinilai cocok sebagai pelopor untuk menghentikan budaya feodalisme pada sistem pendidikan di Indonesia.
"Jangan sampai atmosfer memerdekakan diri sebagai fitrah pendidikan terbelenggu oleh tuntutan budaya administrasi pendidikan," kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, dalam Diklat Peningkatan Kompetensi Guru Vokasi Penggerak besutan Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi (BBPPMPV) Seni dan Budaya, Senin (14/6).
Menurut Rizal, seni dan budaya punya ruang yang lebih besar dibanding bidang sains, matematika, dan bahasa dalam menerjemahkan merdeka belajar di kelas. "Potensi SMK di bidang seni budaya sangat besar dan bisa menjadi pionir perubahan pendidikan di masa depan," kata Rizal.
Untuk menghilangkan budaya feodalisme, menurut Nur Rizal, terkadang hanya dibutuhkan perubahan mindset dan perilaku guru untuk menerjemahkannya. Tidak perlu sampai pada perubahan kurikulum atau kebijakan yang lebih besar. "Budaya feodalisme penting untuk dibongkar secara mendasar karena membunuh kreativitas dan kemandirian untuk beradaptasi terhadap perubahan," ujarnya.
Padahal, lanjut dosen Universitas Gajah Mada ini, dua kompetensi tersebut sangat dibutuhkan oleh tuntutan kompetensi di masa depan. Hal ini diperkuat data dari World Economic Forum bahwa 36 persen dunia kerja dan industri akan didominasi pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi untuk memecahkan persoalan yang kompleks. Sekitar 90 persen kompetensi yang harus disiapkan oleh generasi mendatang adalah penguasaan di aspek soft skill dan karakter, bukan konten akademik.
"Akademik yang dibutuhkan ke depan adalah jenis pekerjaan yang memerlukan kemampuan penalaran dan teknik analisis untuk keperluan data saintis dan kecerdasan buatan," jelasnya. Rizal menawarkan kompas perubahan yang bertujuan menggeser paradigma standarisasi akademik menuju manusia seutuhnya (wellbeing).
GSM, kata Rizal, hadir untuk mengingatkan dan mengembalikan fitrah akan karakteristik kemerdekaan, kebebasan berekspresi dari bidang seni budaya agar mendominasi kultur pendidikan saat ini.