REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penguatan nasionalisme dan wawasan kebangsaan harus terus dilakukan untuk mengikis maraknya adu domba dan hoaks demi terciptanya kehidupan kebangsaan yang harmonis serta demokrasi yang santun di negara tercinta Indonesia. Bila nasionalisme dan wawasan kebangsaan bangsa Indonesia kembali seperti dulu, otomatis radikalisme berkonotasi negatif serta terorisme akan terkikis.
"Ini yang terjadi sekarang. Radikalisme dalam perspektif negatif yang sudah sering saya sampaikan saat menjabat sebagai kepala BNPT. Ada empat indikatornya yaitu intoleransi, anti Pancasila, anti NKRI, dan penyebaran paham takfiri (mengkafirkan orang). Kalau masuk klasifikasi ini harus kita kikis, kita reduksi dan hilangkan. Mari kita sosialisasikan pada anak anak kita, pada generasi kita khususnya generasi muda agar tidak mudah terpapar paham itu, bagaimana kita harus kuatkan nasionalisme dan wawasan kebangsaan,” kata mantan Kepala BNPT Komjen Pol (purn) Suhardi Alius di Jakarta, Selasa (15/6).
Suhardi mencontohkan implementasi penguatan nasionalisme dan wawasan kebangsaan itu dengan kembali mengadakan upacara bendara setiap hari Senin, dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan Pancasila.
"Inilah salah satu yang membuat karakter bangsa dengan baik, kalau tidak dilakukan itu akan hilang. Sekarang generasi muda kita banyak yang tidak hafal Pancasila, lagu Indonesia Raya, itu tidak bisa disalahkan karena kurikulumnya sudah seperti itu. Nah sekarang kita ubah kembali, di mulai dari sekarang sehingga kita bisa melihat hasilnya nanti 5-10 tahun mendatang," tutur Suhardi.
Ia mengungkapkan, saat ini generasi muda menjadi sasaran empuk penyebaran paham-paham tersebut, disamping masyarakat umum lainnya. Faktanya, media sosial sekarang dipenuhi dengan berbagai macam hoaks dan adu domba. Ironisnya, kondisi ini dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal intoleran untuk memecah belah masyarakat.
Mantan Kabareskrim Polri ini menilai, saat ini budaya saring sebelum sharing generasi muda dan masyarakat sangat rendah. Akibatnya mereka ‘menelan’ begitu saja berbagai informasi yang masuk karena tidak punya kemampuan memverifikasi dan memfilter pesan-pesan yang masuk. Hal ini dipengaruhi salah satunya adalah tingkat pendidikan masyarakat.
“Kalau yang sudah berpendidikan cukup intelektual kan akan berpikir saat menerima informasi benar atau tidak, tetapi untuk yang golongan menengah kebawah termasuk yang tidak punya pemahaman itu, hal itu akan dianggap menjadi suatu kebenaran. Ini yang berbahaya, mereka bisa menyebarkan kembali informasi yang diterima yang padahal belum tentu kebenarannya, bisa saja itu berisikan hal terkait radikal terorisme. Ini yang harus kita jaga,” tukas Suhardi yang sekarang menjadi Komisaris Utama PT Taspen Tbk ini.
Terkait fenomena terorisme akhir-akhir ini, Suhardi menilai saat ini sel-sel terorisme kembali muncul. Menurutnya, meskipun kelompok-kelompok terorisme di Indonesia sudah dilarang, namun mereka ingin menunjukan eksistensinya. Oleh sebab itu kewaspadaan harus tetap dijaga.
"Mereka tidak terdata tapi sekarang muatan-muatan baru muncul seperti yang di Makassar. Sebenarnya itu tidak masuk dalam daftar kita tetapi sebarannya sudah seperti itu. Hal itu menjadi kewaspadaan kita semua, tidak mungkin kita menyelesaikan masalah tanpa keterlibatan semua pihak," tuturnya.
Ia berharap, BNPT dan seluruh stake holder yang ada terus melakukan penguatan dan sosialisasi nasionalisme, wawasan kebangsaan, moderasi beragama, dan berbagai hal untuk mencegah penyebaran radikalisme negatif dan terorisme.
"Semua kementerian, dari semua institusi negara, semua bidang bidang pendidikan bisa memonitor dan memberikan masukan, dan bagaimana melaporkan hal hal yang tidak lazim yang ada di sekeliling kita untuk pencegahan. Mudah mudahan ini bisa kita antisipasi dengan baik," kata Suhardi Alius.