REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Krisis politik di Myanmar belum kunjung usai. Myanmar yang awalnya dipimpin oligarki militer dan beralih menjadi sistem demokrasi, oleh militer kembali direbut kekuasaan yang memicu demonstrasi berujung kekerasan militer.
Wakil Direktur Multilateral Economic, Financial, and International Institution CMEA, Dr Muhammad Hadianto mengatakan, politik luar negeri Indonesia saat ini menekankan diplomasi bilateral. Ada lima faktor penting menentukannya.
Antara lain aktor yang terlibat, kepentingan nasional, dampak domestik, lingkungan strategis dan gagasan. Ia menuturkan, ada dua elemen transformasi politik luar negeri Indonesia, yaitu unsur keberlanjutan dan unsur perubahan.
"Sebagai negara yang menganut prinsip politik bebas aktif, Indonesia memiliki kebebasan menentukan sikap dalam kebijakan internasional dan aktif mewujudkan perdamaian dunia," dalam webinar yang digelar HI Universitas Islam Indonesia, Kamis (5/8).
Mantan Duta Besar RI untuk Myanmar, Dr Ito Sumardi menuturkan, transisi demokratisasi di Myanmar bermula ketika junta militer menyetujui adanya pemilu demokratis pada 2015. Hal itu dilakukan karena mereka optimistis akan menang.
Namun, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) milik Aun San Suu Kyi menang telak. Pada 2020, NLD kembali memenangkan pemilu di Myanmar. Militer menuding NLD lakukan kecurangan, memunculkan kudeta, dan kerusuhan.
Internasional menyatakan ketidaksetujuan atas kekerasan terhadap warga sipil, tapi diabaikan. Ito mengaku aktif mendorong Pemerintah Indonesia mendesak Pemerintah Myanmar mempertahankan demokrasi lewat dialog persuasif. "Begitu pula isu kemanusiaan di Rohingya yang harus segera diselesaikan," ujar Ito.
Dosen Universitas Bina Nusantara, Dr Dinna Prapto Raharja menilai, Myanmar merupakan negara yang sangat tertutup dan penuh kelompok bersenjata. Sehingga, melakukan perdamaian di negara itu bisa menjadi rumit dan mahal.
Setelah kudeta Myanmar 1 Februari 2021, situasi tampak semakin memburuk. Dinna melihat, kebijakan luar negeri Indonesia belum tepat dalam mengambil jalan, Myanmar masih transisi dan belum siap jadi negara demokrasi seutuhnya.
Meski begitu, ASEAN memperlakukan Myanmar selayaknya negara-negara lain yang memiliki sistem demokrasi lebih mapan. Hasil negosiasi diplomatik berubah jadi hasil yang buruk. Maka itu, apa yang ingin dicapai Indonesia perlu diubah.
"Perlu lebih dipahami Myanmar, itu harus datang dari solidaritas dan kepedulian dari masyarakat sipil. Situasinya masih sangat rapuh, saya merekomendasikan perlunya melakukan reformasi terhadap ASEAN," katanya.