REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Kondisi pandemi Covid 19 yang sudah berlangsung sedkitar 1,5 tahun, menyebabkan dunia usaha kelimpungan. Hal ini paling tidak bisa dilihat dari kemampuan para debitur mengangsur kredit perbankan.
Dia menyebutkan, normalnya NPL perbankan di kisaran 4-5 persen. Namun dia mengakui, kondisi pandemi yang telah berlangsung cukup lama memang menyebabkan banyak pelaku usaha yang terdampak sehingga kesulitan dalam memenuhi kewajiban pembayaran angsuran.
Menurutnya, kesulitan tersebut dialami hampir seluruh sektor usaha. Namun yang paling banyak terpukul, adalah sektor perdagangan. Sedangkan jenis perbankan yang paling besar menyumbang tingginya NPL, ada di sektor perbankan umum.
Dia menyebutkan, adanya program restrukturisasi kredit, sedikit banyak cukup menekan angka NPL agar tidak terlalu tinggi. ''Kalau tidak ada program restrukturisasi dan relaksasi kredit, mungkin angka NPL-nya bisa dua kali lipat dari NPL sekarang,'' jelasnya.
Lepas dari persoalan tingginya NPL perbankan, Riwin menyebutkan, secara keseluruhan kondisi perbankan di wilayah eks Karesidenan Banyumas masih dalam kondisi stabil dan terjaga. Hal ini dilihat berdasarkan angka-angka aset perbankan, Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit yang dilakukan.
Hanya dia mengakui, kondisi likuiditas perbankan di Banyumas memang tergolong tinggi. Hal ini mengingat DPK yang berhasil dihimpun selama masa pandemi hingga Mei 2021, jauh diatas nilai kredit. ''Selama masa pandemi, orang Banyumas lebih banyak menyimpan uangnya di Banyumas daripada untuk kegiatan ekonomi. Sementara kredit yang disalurkan perbankan, mengalami kenaikan tidak terlalu tinggi,'' jelasnya.
Berdasarkan data per Mei 2021, Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum naik tinggi mencapai 10,04 persen (year of year). Dari posisi simpanan/tabungan masyarakat Rp 5,032 triliun pada Mei 2020, melonjak menjadi Rp 5,537 triliun pada Mei 2021.