REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Pakar teknologi industri pertanian UGM, Dr Atris Suyantohadi menilai, produktivitas kedelai lokal terus mengalami penyusutan. Ini dikarenakan harga beli di pasaran yang murah dan di bawah nilai harga pokok produksi dari petani.
Ia mengatakan, kurangnya jaminan pasar harga kedelai dari hasil panen petani memicu keengganan petani melakukan budidaya kedelai. Bahkan, lahan kedelai 1990 mencapai luas 1,3 juta hektar dan pada 2005 merosot tajam jadi 621 ribu hektar.
"Minimnya ketersediaan kebutuhan kedelai lokal memberikan peluang kepada negara luar untuk mengekspor kedelai ke Indonesia," kata Atris, Jumat (5/8).
Menurut Atris, kebutuhan kedelai baik untuk kebutuhan pangan dan penggunaan kedelai untuk menunjang industri dalam berbagai pengolahan produk pangan. Seperti tempe, tahu dan kecap memiliki nilai yang sangat tinggi di Indonesia.
Industri tahu dan tempe yang tergolong industri kecil dan rumah tangga mampu memiliki nilai produksi Rp 92,3 triliun dan nilai tambah Rp 37,3 triliun. Tapi, penanganan usai panen dari tingkat kelompok tani masih alami kendala teknis.
Seperti tata cara penyimpanan yang baik dan penanganan ruang penyimpanan terstandar kualitas hasil usai panen. Tidak adanya manajemen pengendalian usai panen kedelai petani mulai dari teknologi untuk penanganan setelah panen.
Lalu, penyimpanan di gudang, pengolahan kedelai dan pemasaran kedelai petani hingga konsumen dan pelaku industri jadi kendala besar. Banyaknya kendala ini membuat kualitas kedelai sebagai bahan baku pengolahan kurang terpenuhi.
Selain itu, tata niaga usai panen kedelai sangat ditentukan mekanisme pasar dari hulu panen kedelai oleh petani, pedagang perantara pasar dan pedagang besar. Serta, pelaku industri baik kecil maupun industri skala menengah dan besar.
"Ini berdampak ke ketergantungan harga di spekulan pedagang pasar dan jaminan keberlangsungan kontinuitas produk usai panen yang tidak bisa sepanjang tahun," ujar Atris.
Perlu penguatan sistem agribisnis dan agroindustri berbasis sistem informasi dari hulu di petani. Mulai menanam kedelai, kebutuhan benih, kontrak petani, SOP Budidaya, penanganan OPT, penanganan usai panen dan pemenuhan standar.
Ia menilai, model pengembangan yang disebut Smart Enterprise Kedelai ini bisa melindungi harga sesuai harga pokok produksi. Lalu, melakukan penjadwalan dan mengatur pengiriman dan transportasi ke konsumen dan pelaku industri.
"Serta, mengolah jadi produk pangan dengan bahan baku kedelai. Sistem ini mampu menghubungkan komponen pelaku dalam sistem tata niaga kedelai serta mampu membantu dan menjaga kontinuitas produk sepanjang tahun," kata Atris.
Pengembangan Smart Enterprise Kedelai dijalankan di Gudang Sistem Resi Gudang (SRG) Bantul guna kendalian stok dan sistem resi saat panen kedelai melimpah. Serta. dibangunnya Agroindustri Tempe di Kebondalem Kidul, Klaten.
Penerapan melibatkan unsur kolaborasi dan sinergitas terdiri dari pemerintah, industri, kelompok petani, akademisi pendidikan tinggi dan media sebagai bentuk sistem Pentahelix. Keterlibatan kelompok petani kedelai kini capai 2.200 mitra.
Memanfaatkan l294 hektar dan menyerap tenaga kerja 8.820 dan mendukung perekonomian pedesaan. Pengembangan Smart Enterprise Kedelai bisa jadi model komoditi kedelai yang bisa dikembangkan daerah-daerah sentra kedelai.