REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan DPR periode 2019-2024 adalah yang terburuk di era reformasi. Salah satu penilainnya, karena DPR pada periode ini baru mengesahkan empat undang-undang pada dua tahun pertamanya.
"Tempo hari Formappi mengatakan DPR 2014-2019 terburuk di era Reformasi, tapi nampaknya ada yang lebih buruk dari 2014-2019 itu dalam hal kinerja dan itu adalah DPR yang sekarang ini," ujar Lucius dalam rilis daringnya, Kamis (12/8).
DPR periode 2014-2019, jelas Lucius, sudah mengesahkan 16 undang-undang pada dua tahun pertamanya. Berbeda dengan DPR yang saat ini dipimpin oleh Puan Maharani, di mana baru menyelesaikan empat undang-undang dalam dua tahun pertama.
"Dari (DPR) 2014-2019 yang di dua tahun pertamanya itu sudah berhasil menghasilkan belasan RUU. Tahun pertama waktu itu sudah ada enam, tahun kedua ada sepuluh," kata Lucius.
Formappi juga menyorot kebijakan DPR di tengah pandemi yang justru menciptakan kontroversi dan polemik di masyarakat. Padahal seharusnya para legislator menunjukkan kerja terbaiknya sesuai dengan fungsi-fungsi DPR.
"DPR ini justru gagal hadir bersama rakyat di tengah situasi di mana rakyat paling membutuhkan mereka, yaitu situasi sulit di masa pandemi ini," ujar Lucius.
Sementara itu, peneliti Formappi Bidang Pengawasan, Albert Purwa mengatakan bahwa fungsi legislasi DPR selama Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021 berjalan tak maksimal. Terbukti dari hanya diselesaikan satu undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
"Pengesahan RUU Perubahan UU Otonomi Khusus Papua tidak layak mendapatkan apresiasi. Apalagi karena proses pembahasannya sangat minim partisipasi masyarakat," ujar Albert.
Di samping RUU Otsus Papua, Formappi melihat ada RUU lain yang memiliki urgensi sama pentingnya untuk masyarakat, tapi tak diselesaikan pada Masa Sidang V. Dua di antaranya adalah RUU Perlindungan Data Pribadi dan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
"DPR mestinya bisa lebih produktif jika konsisten dan berkomitmen untuk fokus bekerja sesuai dengan fungsi pokok mereka," ujar Albert.