REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang minuman beralkohol (RUU Minol) sedang masuk ke dalam tahapan rapat dengar pendapat umum (RDPU) di parlemen. Salah satu yang dibahas adalah apakah RUU tersebut dapat mengusik kepentingan adat dan pariwisata.
Ketua Umum Gerakan Anti Miras (Genam), Fahira Idris menyampaikan, pihaknya telah mengawal RUU Minol sejak awal pembentukan. Sehingga dia menyebut, sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena RUU tersebut dinilai akomodatif dan tidak mengusik kepentingan adat maupun pariwisata.
“Ini karena dari semua larangan produksi, distribusi, dan konsumsi minol tidak berlaku untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Yang mana semua ini akan diatur lebih rinci dan jelas dalam Peraturan Pemerintah, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Fahira saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (18/8).
Meskipun dalam judul RUU tersebut mengandung kata larangan, kata dia, namun demikian jika dicermati pasal-pasal dalam RUU Larangan Minol tersebut lebih mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi minol. Untuk itu, lanjut dia, RUU tersebut mendesak disahkan karena fakta yang terjadi di lapangan saat ini adalah minol bisa dibeli siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
“Selama punya uang, minol boleh dibeli siapa saja, termasuk remaja. Bahkan dijual 24 jam tanpa ada aturan waktu serta diminum di mana saja. Oleh karena itu, butuh sebuah regulasi minol setingkat undang-undang yang berlaku secara nasional,” kata dia.
Pihaknya pun mengimbau masyarakat Indonesia bergerak bersama mengawal RUU tersebut. Sebab, persoalan miras adalah persoalan bangsa yang harus segera dicarikan solusinya, salah satunya lewat UU yang tegas dan komprehensif.