REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Saat pandemi belum tertangani dengan baik, fokus Indonesia malah beralih ke mural-mural jalanan yang menggelitik. Aparat yang seharusnya membantu penanganan krisis, justru memberi perhatian khusus menghapus mural-mural kritis.
Di Yogyakarta, kondisi ini disoroti Aliansi Rakyat Bergerak atau lebih dikenal dengan gerakan Gejayan Memanggil. Secara kreatif, mereka membuat semacam lomba dengan tajuk Lomba Mural Dibungkam, sebagai tanggapan sikap aparat yang reaktif.
Diadakan mulai 23-31 Agustus 2021, cara berpartisipasi peserta adalah hanya dengan mengunggah ke akun Instagram pribadi dan melakukan tag ke akun @gejayanmemanggil, dan konfirmasi melalui direct message ke akun Gejayan Memanggil dengan kode "Lomba Dibungkam."
Kriteria juri di antaranya adalah keberanian, semangat melawan, diapresiasi rakyat, tidak SARA (rasis) dan aparat merespons cepat menghapus mural. Salah satu hadiahnya, karya dipasarkan dan 50 persen keuntungan disalurkan untuk gerakan 'Rakyat Bantu Rakyat'.
"Aksi pemberontakan adalah respons di mana suara-suara rakyat tidak lagi didengar. Begitupun mural, ia adalah representasi perasaan rakyat yang tidak diberitakan, bahkan mereka hilangkan karena mereka tidak senang melihat rakyat punya kesadaran," tulis admin Gejayan Memanggil.
Salah satunya ada di bawah perlintasan kereta api dekat Stasiun Tugu Yogyakarta, yang sejak lama sudah jadi wadah seniman Yogyakarta menuangkan aspirasi. Di sana, terdapat mural besar bertuliskan 'DIBUNGKAM' yang belakangan tampak coba dihapus.
Selain dari Yogyakarta, karya-karya mural datang dari daerah-daerah lain seperti Malang, Semarang, dan Tangerang. Salah satu karya mural yang cukup sederhana tapi menarik perhatian bertuliskan 'Urus Saja Moralmu, Jangan Urus Muralku.'
Aktivis sosial dari Yogyakarta, Baharuddin Kamba menilai, karya-karya seni seperti mural tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, mural itu hanya bagian dari ekspresi oleh rakyat dalam menyampaikan pendapatnya, yang kebetulan dilakukan seniman-seniman.
Lagipula, ia meyakini, ketika mural-mural itu dihapuskan akan muncul mural-mural lain baik di tempat-tempat yang sama atau lokasi-lokasi yang berbeda. Karenanya, Kamba berpendapat, sebaiknya diberikan ruang saja untuk rakyat mengekspresi diri.
Kemudian, Kamba menekankan, jika perlu masyarakat diberikan pemahaman bahasa yang santun seperti apa sebagai edukasi. Terlebih, tindakan reaktif tidak diberlakukan kepada baliho-baliho politik yang banyak muncul saat rakyat hadapi situasi sulit.
"Baliho politik itu menurut saya juga mengganggu estetika pemandangan, kalau kita ingin melihat Merapi tertutup baliho, kalau ingin melihat Keraton tertutup baliho," kata Kamba kepada Republika, Rabu (25/8).
Kamba mengingatkan, harus ada solusi jangka pendek dan jangka panjang bagi rekan-rekan yang memang memiliki bakat seni. Ia menyarankan, diberikan saja ruang yang boleh bagi masyarakat membuat mural dan bahasa seperti apa yang dianggap santun.
Jika perlu, kata Kamba, didatangkan saja ahli-ahli bahasa untuk menerangkan kepada masyarakat, mana bahasa yang dianggap santun dan mana bahasa yang dianggap tidak santun. Sehingga, masyarakat bisa terus mengingatkan tanpa menyinggung siapapun.
Bahkan, ia melihat, dari mural-mural belakangan ini, teman-teman seniman itu hanya mengingatkan kepada pemerintah agar penanganan pandemi benar-benar dilakukan. Belum lagi, sudah ada pengalaman bantuan sosial saja masih tega dikorupsi menteri.
"Intinya, tidak perlu dikhawatirkanlah karya-karya seni mural tersebut karena cara orang itu berbeda-beda, lagipula sejak zaman dulu sudah ada kenapa dikhawatirkan? Itu bagian dari kritik dengan cara mereka sendiri, apa yang perlu dikhawatirkan?" ujar Kamba.