REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Mural diduga bergambar mirip Presiden Indonesia, Joko Widodo, yang disertai tulisan '404: Not Found' viral di media sosial. Aparat langsung menghapus dan mencari seniman pembuat mural karena dianggap melecehkan lambang negara.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Irham Nur Anshari mengatakan, soal itu perlu dipahami apa sebenarnya yang jadi masalah utama. Sebab, dalam kondisi itu sering dikaitkan kepada pelecehan simbol negara dan perusakan fasilitas umum.
"Perusakan fasilitas umum ini sedikit lucu karena yang dihapus hanya mural yang dianggap gambar Presiden Jokowi, mural lain di sampingnya tidak dibersihkan. Lalu, desainer kaus menggunakan imaji mural juga didatangi aparat untuk minta maaf," kata Irham, Jumat (27/8).
Artinya, kata Irham, poin utama persoalan ini adanya anggapan mural, gambar, atau desain dianggap melecehkan simbol negara. Namun, apakah gambar tersebut gambar Presiden Jokowi atau hanya mirip atau tafsir yang berkembang yang justru perlu dipersoalkan.
Apalagi, ahli-ahli gambar coba menafsirkan mural tidak sampai 50 persen memiliki kemiripan Presiden Jokowi. Meski secara sederhana bisa ditafsir dari gaya rambut dan dagu, tidak cukup jadi alasan menentukan mural sebagai pelecehan presiden.
"Tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap presiden karena itu bukan foto asli, tapi hanya gambar," ujar Pembina UKM Seni Rupa UGM tersebut.
Kasus ini menunjukkan poin penting seni. Seniman dapat menyampaikan kritik secara kreatif dan tersampaikan tanpa diadili secara mutlak. Sebab, yang ada hanya berupa gambar bukan foto atau video, bahkan tidak ada nama menyebut gambar itu presiden.
Dari kasus ini dapat dilihat mural sebagai media menyampaikan aspirasi atau kritik menghadapi tantangan. Pada era demokrasi kini, justru patut dipertanyakan masih ada pihak-pihak merasa gerah kepada kritik sosial yang disampaikan melalui mural.
"Sebab, tanpa ada konflik jangan-jangan ada sebuah kondisi mapan yang sebenarnya ada hirarki dominan. Bentuk aspirasi apapun hendaknya didengar dan dicari tahu," kata Irham.
Ia menilai, penggunaan mural sebagai media penyampaian aspirasi bisa karena tidak berjalan baiknya sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah. Sistem tidak lagi mampu menampung membuat sebagian masyarakat mencari media lain untuk menyuarakan.
"Dengan cara mengekspos ke publik baik lewat media daring maupun luring, termasuk mural. Kalau via online tidak cukup, maka offline juga dilakukan seperti dengan poster dan mural, ini bentuk demokrasi," ujar Irham.
Tantangannya, bagaimana pemerintah bisa mendengar aspirasi dan kritik ini tanpa dengan mudah melabelinya dengan oposisi dan sebagainya. Lalu, apakah penggunaan poster atau mural untuk menyampaikan aspirasi bisa dianggap efektif atau tidak.
Irham menyebut, pada era PPKM saat masyarakat tidak banyak melakukan mobilitas, penggunaan mural dinilai tidak terlalu efektif suarakan pendapat. Terlebih, banyak mural digambar di titik-titik yang tidak terjangkau publik seperti bawah jembatan.
Meski begitu, Irham merasa, yang menarik pada era internet saat ini mural difoto dan disebarluaskan melalui berbagai platform digital. Sehingga, aspirasi maupun kritik sosial dapat tersampaikan secara luas saat terdistribusikan secara daring.
"Yang menarik, sebelum dihapus sudah ada beberapa orang mengambil foto dan justru foto asli ini sangat viral. Foto ini menarik banyak orang yang belum sempat lihat jadi melihat karena berita viral mural dihapus. Kritik jadi berlipat ganda, mati satu tumbuh seribu," kata Irham.