REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur oleh pemerintah harus dipagari dengan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). "Tanpa PPHN, siapa yang bisa menjamin presiden terpilih 2024 benar-benar akan melaksanakan dan melanjutkan rencana pemindahan IKN," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad (29/8).
Sebab, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 dan UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) tidak memberi sanksi apapun kepada presiden berikutnya apabila tidak melanjutkan sebuah program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh presiden sebelumnya. Hal itu ia sampaikan terkait rencana Presiden Joko Widodo yang akan menyerahkan surat presiden (surpres) terkait RUU IKN ke DPR RI.
Ahmad Basarah berharap gagasan besar tersebut mendapat dukungan dari partai-partai politik dan semua elemen masyarakat demi kebaikan bangsa. "Gagasan besar Presiden Jokowi ini harus dijadikan contoh praktis untuk memastikan kesinambungan rencana pembangunan IKN," ujar politisi PDIP tersebut.
Menurut dia, dukungan partai-partai dan seluruh masyarakat atas rencana pemindahan IKN idealnya diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap rencana MPR RI melakukan amendemen terbatas UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN. Amendemen terbatas hanya ingin memasukkan satu ayat pada Pasal 3 yang intinya memberi kewenangan kepada MPR RI untuk mengubah dan menetapkan PPHN atau Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Kemudian menambah ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR RI untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden bila tidak bertentangan dengan PPHN. "Saya sangat berharap niat MPR RI melakukan amendemen terbatas ini tidak dicurigai punya motif apa pun," ujar ketua Fraksi PDIP tersebut.
Apalagi, jika ada yang mencurigai ingin mengubah konstitusi agar presiden bisa menjabat tiga periode. Presiden boleh berganti, tapi rencana pembangunan nasional jangka panjang harus terus berkesinambungan dan dipagari oleh konstitusi.
Jangkar pembangunan Indonesia modern sudah seharusnya dikembalikan kepada cita-cita luhur pendiri bangsa yang menghendaki pembangunan nasional didasarkan pada pola Pembangunan Nasional Semesta dan Berencana (PNSB). "Bung Karno di era orde dasar dulu pernah melaksanakan PNSB dan GBHN. Kemudian pada era orde baru, Pak Harto melanjutkannya dengan terminologi GBHN," ujar dia.
Namun, setelah reformasi, MPR melucuti sendiri kewenangannya untuk membuat dan menetapkan konsep pembangunan jangka panjang nasional. Sebab itu, ia berpendapat sudah saatnya kembali pada PPHN.
Jika Indonesia memiliki PPHN, seluruh rakyat melalui wakil-wakilnya di Senayan akan leluasa memastikan presiden terpilih melaksanakan peta jalan dan cetak biru pembangunan nasional melalui PPHN. Melalui PPHN itulah presiden terpilih menjabarkan program pembangunan lima tahun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah disusun dan dijabarkan langsung sejak pembentukan visi misi serta program calon presiden yang ikut kontestasi Pemilu Presiden.
"Dengan demikian pembangunan nasional tidak akan jalan di tempat akibat ganti presiden ganti program dan kebijakan," ujarnya.
Sebagai contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membuat Badan Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda. Namun, proyek tersebut dibatalkan dan dibubarkan oleh Presiden Jokowi.
Hal tersebut bisa dilakukan karena UU SPPN tidak mengatur hal itu, termasuk soal sanksi. "Kita tidak ingin presiden terpilih di 2024 melakukan tindakan yang sama jika tidak ada PPHN," kata dia.