REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar hukum tata negara UGM, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu menilai, MPR tidak perlu melakukan amandemen UUD 1945. Sebab, dari sisi hukum tata negara tidak ada yang mendesak dilakukan pengaturan ulang soal konstitusi negara.
Justru, ia menilai, jika dipaksakan dan sering terjadi amandemen membuat negara tidak pernah akan stabil baik sisi hukum dan politik. Setiap negara yang terlalu sering mengubah konstitusi akan mengakibatkan negara tidak akan pernah stabil.
"Hal ini disebabkan karena pondasi dasar negara itu sering diubah, maka bangunan negara itu selalu akan bergeser. Padahal, untuk bisa stabil, perlu waktu panjang," kata Andi, Senin (30/8).
Dosen Fakultas Hukum UGM ini mengingatkan, secara filosofis UUD 1945 kontrak dasar hubungan yang diperintah dan yang memerintah serta antar pemegang kekuasaan. Maka itu, UUD kontrak jangka panjang penyelenggaraan negara, bukan untuk waktu sesaat.
Jika UUD diubah hanya untuk penuhi hasrat sesaat, pasti UUD akan detail dan tidak berumur panjang. Seperti Carlos Menem di Argentina yang sukses mengubah UUD untuk melanggengkan kekuasaannya selama tiga periode, tapi tetap berakhir kekacauan.
Kemudian, UUD Argentina diubah lagi dengan mengembalikan ke posisi semula. Andi melihat, konstruksi amandemen UUD 1945 sekarang ini memang lebih condong dikuasai partai politik, khususnya berkaitan dengan keputusan akhir melakukan amandemen.
Mekanismenya, lembaga atau alat negara manapun dapat mengajukan permintaan amandemen UUD ke MPR. MPR akan menelaah dan diputuskan dalam rapat paripurna MPR. Padahal, ia mengingatkan, MPR sendiri berisi anggota DPR dan anggota DPD.
"Jika kemudian seluruh anggota DPR yang semuanya berasal dari parpol menyetujuinya, maka proses amandemen pasti terjadi," ujar Andi.
Menurut Andi, saat ini dari sisi hukum tata negara tidak ada yang mendesak untuk dilakukan amandemen. Namun, dari sisi politik bisa saja kemungkinan terjadi. Hanya saja sampai saat ini tidak diketahui hal-hal apa yang mendesak dari sisi politik.
Andi juga sempat menyinggung isu akan dikembalikannya haluan penyelenggaraan negara melalui Pokok-Pokok Haluan Negara seperti GBHN yang pernah ada pada era Orde Baru. Aturan ini bertentangan konsep pemilihan langsung presiden dan wapres.
Sebab, ia menekankan, jika pemerintah melaksanakan program kerja yang ditentukan oleh MPR, berarti Indonesia memang termasuk dalam negara parlementer. Walaupun, MPR sendiri tidak bisa sepenuhnya dikategorikan sebagai parlemen.
Ia menambahkan, rakyat memilih seseorang menjadi presiden lebih didasarkan kepada preferensi program kerja yang ditawarkan dalam kampanye seorang calon presiden. Sehingga, ketika terpilih, program kerja itulah yang harus diimplementasikan.
"Oleh karenanya, tidak bisa diadopsi secara bersamaan dalam UUD 1945. Harus dipilih salah satu," kata Andi.