REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI) sukses menggelar webinar dalam rangka launching buku Pendidikan Humanis antara cita dan realita sekaligus diskusi pendidikan. Diselenggrakan secara daring melalui plarform Zoom Meeting dan Youtube Pundi pada Senin (30/8).
Direktur Pundi Iman Sumarlan dalam sambutan mengatakan, memilih pendidikan humanis sebagai judul buku sangat relevan di era pandemi, intinya pendidikan humanis itu bagaimana pendidikan dapat memanusiakan manusia.
“semoga buku ini mampu memotret keadaan pendidikan dan mampu berkontribusi menyumbangkan gagasan agar terwujud pendidikan yang dicita-citakan,” ungkap beliau.
Hadir dalam kesempatan ini sejumlah narasumber diantaranya Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman, Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Prof Alimatul Qibtiyah, Ketua DPP IMM Ari Susanto.
Untuk memahami penididikan humanis, Alpha Amirrachman menjelaskan bahwa pendidikan humanis adalah sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan, hampir sebagian besar dipromosikan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers dalam bidang humanistic psychologists. Dan ia menyoroti dampak pandemi terhadap pendidikan.
“Covid-19 memporak-porandakan elemen pembangunan terutama pendidikan, yang memunculkan inovasi-inovasi pembelajaran baru, meningkatnya kolaborasi institusi pemerintah dan swasta, dan kesenjangan digital semakin melebar, saya rasa ini patut menjadi perhatian Pundi agar bisa menghadirkan pendidikan adil, berkualitas dan terjangkau,” ujarnya.
Sementara itu, Prof Alimatul dalam uraiannya menjelaskan pendidikan yang adil gender. Menurutnya jika membicarakan pendidikan yang adil gender, hal yang tidak boleh kita tinggalkan adalah kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis, hal ini bukan berarti menyamakan persis laki-laki dan perempuan, sebab tugas reproduksi perempuan berbeda dengan laki-laki.
“Dalam praktiknya, kurikulum merdeka menjadi peluang untuk mengarusutamakan kesetaraan dan keadilan gender, dibutuhkan juga komitmen pimpinan dan kerja keras tim kurikulum untuk membentuk budaya ramah gender, menghindari penafsiran agama yang misoginis agar mempermudah edukasi,” lanjut Prof Alimatul.
Selanjutnya, narasumber sekaligus menjadi kontributor tulisan buku Pendidikan Humanis, Ari Susanto memberikan pandangannya mengenai praktik punishment di sekolah yang masih bias. “Praktik hukuman yang diberikan kepada siswa masih bias, belum memberikan kesadaran kepada siswa,” ujar Ari.
Ia melanjutkan, bagaimana hukuaman itu diberikan kepada siswa agar menjadikan edukasi bukan memberikan efek buruk fisik dan psikis. “Hukuman harusnya mendorong seseorang sadar apa yang dilakukan itu salah. Mengganti hukuman yang bersifat kekerasan dengan yang mendidik seperti menanam pohon, menulis, atau yang bersifat edukasi,” ujarnya.
Selanjutnya, webinar dilanjutkan denga tanya jawab peserta dengan narasumber. Dihadiri 100 peserta yang terdiri dari para pegiat pendidikan, dosen, tenaga medis dan berbagai lapisan masyarakat dari sejumlah daerah di Indonesia.
Dalam pernyatan penutupnya Prof Alim dan Alpha Amirrachman menyatakan buku ini penting dibaca untuk rujukan pendidikan humanis walau terdapat kritik terhadap buku ini yakni Perlu meneruskan riset lanjutan bahwa pendidikan karakter tidak akan hilang saat pembelajaran era pandemi serta perlunya memerinci lebih banyak bahasan pendidikan adil gender dalam buku ini.