REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sekolah internasional atau Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) menuai kontroversi. Baru-baru ini, Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia (PSSI) menyatakan keberatan serta menolak pengenaan PPN tersebut.
Ketua PSSI, Haifa Segeir, menyatakan pengenaan PPN pada institusi pendidikan tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 di mana disebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
"Dengan mengenakan PPN akan membuat pendidikan (berkualitas) menjadi semakin tidak terjangkau semua kalangan dan tidak memberikan hak warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan (berkualitas)," ujar Haifa dalam siaran persnya, Sabtu (18/9).
Haifa menuturkan, SPK merupakan satuan Pendidikan yang berada dalam sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 Ayat 1 Permendikbud 31 Tahun 2014 di mana SPK wajib memenuhi delapan standar nasional pendidikan dan secara berkala menjalani proses akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN). Oleh karenanya, ujar Haifa, asumsi bahwa SPK bukan dalam sistem pendidikan nasional adalah salah dan harus diluruskan.
"Kami merasa sangat didiskriminasikan dalam banyak kebijakan pemerintah termasuk di dalamnya pengecualian penerimaan dana BOS, pengecualian atas diberikannya tunjangan profesi atas guru-guru kami dan saat ini diwacanakan untuk dikenakan pajak yang lebih tinggi dibandingkan satuan pendidikan lainnya," kata Haifa.
Menurut dia, hal ini menimbulkan keprihatinan yang sangat mendalam karena pada kenyataannya tidak seluruh SPK mengenakan biaya ratusan juta rupiah atau mampu secara finansial terutama di masa pandemi seperti sekarang.
Bahkan, ia manuturkan, banyak sekali SPK yang mengenakan biaya jauh di bawah sekolah swasta nasional dan guru-gurunya masih menerima gaji di bawah guru-guru sekolah negeri.
Menurut Haifa, ditiadakannya beberapa bantuan atau subsidi pemerintah dan biaya retribusi untuk tenaga kerja asing, serta fasilitas penunjang yang harus disediakan oleh SPK karena muatan kurikulum internasional yang ditawarkan menjadi faktor-faktor yang menjadikan biaya beberapa sekolah SPK berbeda dengan sekolah-sekolah swasta lainnya.
"Namun pada prinsipnya SPK tetap berkomitmen untuk memberikan pendidikan berkualitas dunia kepada anak-anak bangsa dan memberikan kontribusi terhadap pendidikan negeri sebagaimana diminta oleh pemerintah baik melalui program pengimbasan maupun partisipasinya dalam program Guru Penggerak," katanya.
Haifa menuturkan, pengenaan PPN akan semakin memberatkan pihaknya sebagai satuan pendidikan yang harus mandiri secara finansial, yang tidak menerima bantuan atau subsidi dalam bentuk apapun dari pemerintah, meskipun berorientasi nirlaba.
"Hal ini secara otomatis juga akan sangat memberatkan orang tua kami yang dengan sangat terpaksa akan juga merasakan kenaikan biaya yang tidak pernah kami inginkan karena biaya operasional sekolah hanya bersumber dari kontribusi orang tua," ujarnya.
Juni lalu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan memberikan kategori jasa pendidikan yang akan dikenakan PPN. Adapun rencana pengenaan PPN terhadap jasa pendidikan tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan tidak semua jasa pendidikan akan dikenai tarif PPN. "Yang namanya jasa pendidikan rentangnya luas sekali, jasa pendidikan yang mana? Jasa pendidikan yang mengutip iuran dengan batasan tertentu yang akan dikenakan PPN," ujarnya saat media briefing pajak, Senin (14/6).
Neil menjelaskan pengenaan tarif PPN terhadap sektor ini akan dikecualikan jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan, dan yang dinikmati masyarakat banyak pada umumnya, misalnya sekolah negeri. "Tapi jelas jasa pendidikan yang bersifat komersial dalam batasan tertentu akan dikenai PPN," katanya.