REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Zaenul Rahman menilai, tindak pidana rasuah yang dilakukan Bupati Kolaka Timur di Sulawesi Tenggara, Andi Merya Nur (AMN) dilakukan guna mengembalikan modal pencalonan sebagai kepala daerah.
"Komponen terbesar biaya politik justru pengeluaran tidak sah yakni membeli suara pemilih dan biaya mahar kepada parpol," kata Zaenul Rahman di Jakarta, Kamis (23/9).
Dia mengatakan, mahar politik yang tinggi mendorong kepala daerah mengembalikan modal. Dia melanjutkan, kepala daerah kemudian menggunakan kewenangan yang dimiliki ditransaksikan menjadi materi.
Zaenul mengungkapkan, ada tiga area utama yang sering terjadi korupsi yakni pengadaan barang dan jasa, perizinan dan jual-beli jabatan. Dia mengatakan, korupsi di kalangan kepala daerah juga terus terjadi karena sistem politik tidak berubah.
"Demikian juga pengawasan di daerah tidak berjalan efektif," katanya.
Seperti diketahui, KPK telah menetapkan Andi Merya Nur bersama dengan Kepala BPBD Kolaka Timur, Anzarullah (AZR) sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di pemerintah kabupaten Kolaka Timur tahun 2021. Keduanya dicocok dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Selasa (22/9) lalu.
Dalam operasi senyap itu, KPK juga mengamankan Rp 225 juta dari tangan para tersangka yang niatnya akan diberikan tersangka Anzarullah kepada Andi Merya Nur. Kegiatan OTT itu dilakukan saat Anzarullah meninggalkan rumah jabatan kepala daerah untuk menyerahkan uang tersebut ke ajudan bupati.
Andi Merya Nur merupakan kepala daerah yang baru menjabat tiga bulan atau tepatnya 99 hari setelah dilantik Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi pada 14 Juni 2021 lalu. Dia dilantik menggantikan Bupati terpilih sebelumnya, Tony Herbiansyah yang meninggal dunia usai bermain sepak bola di daerah tersebut pada 19 Maret lalu.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, bahwa meskipun tindal pidana yang dilakukan Andi Merya Nur berkenaan dengan dana musibah namun tidak akan dikenakan pasal Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu memerintahkan hukuman mati koruptor jika dilakukan di tengah musibah.
Ghufron mengatakan, penangkapan Andi Merya Nur berupa suap terhadap agar memenangkan salah satu kontraktor pada dua proyek. Dia melanjutkan, OTT dilakukan terkait pemberian hadiah atau janji barang berupa uang 250 juta melalui dua tahap 25 dan 225 agar dimenangkan pada tahap penentuan konsultan.
"Proses konsultan, atau penentuannya masih berjalan, belum ditentukan, jadi masih berjalanm Kecuali, proses penentuan konsultannya sudah terjadi dan kemudian ada melawan hukum karena adanya suap ini baru bisa masuk ke pasal 2 ayat 2, tapi ini sedang berjalan," kata Ghufron.
Meski demikian, Ghufron mengatakan bahwa penerapan pasal 2 ayat 2 masih bisa dilakukan. Hanya saja, sambung dia, KPK membutuhkan waktu untuk menelusuri lebih lanjut.
"Apakah nanti memungkinkan ke Pasal 2 ayat 2 tentu masih kami akan proses lebih lanjut. Ini suap untuk proses pemenangan yang sedang berlangsung, belum selesai," katanya.