REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari ini tidak sedikit pemberitaan mengenai perubahan Statuta UNJ untuk pemberian doktor kehormatan, untuk menjawab itu, UNJ mengadakan Sarasehan dalam tema “Bedah Regulasi Pemberian Gelar Kehormatan: Tinjauan Filosofis, Hukum, Akademis, dan Ketatalaksanaanya”, Kamis (21/10).
Sarasehan tersebut digelar secara hibrid. Untuk luring diadakan di Aula Latief Hendraningrat, Gedung Dewi Sartika lantai 2, Kampus A UNJ. Sedangkan yang daring melalui Zoom live streaming.
Sarasehan tersebut dihadiri oleh beberapa narasumber di antaranya Dirjen Diktiristek Kemdikbudristek Prof Nizam yang diwakili oleh Direktur Sumber daya Ditjen Diktiristek, Mohammad Sofwan Effendi Kemudian Kepala Biro Hukum Kemdikbudristek, Dian Wahyuni, yang diwakili oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Madya Biro Hukum Kemendikbud Polaris Siregar, Rektor IPB Prof Arif Satria, dan Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Prof Asep Saefudin.
Empat orang pembicara yakni, Prof I Made Putrawan sebagai Guru Besar Tetap UNJ, Prof Ilza Mayuni, sebagai Guru Besar Tetap UNJ, Ubedilah Badrun sebagai Dosen UNJ, serta Yusherman sebagai IKA Alumni UNJ. Sementara untuk peserta dihadiri oleh seluruh anggota Senat UNJ, seluruh peserta Rapim UNJ, para Wakil Dekan, Sekretaris Korpus Lembaga, dan Koorprodi, perwakilan BEM UNJ dan Fakultas, MTM dan Forum UKM, dan para awak media.
Dalam sambutan pada acara sarasehan, Rektor UNJ Prof Komarudin menyampaikan, setelah sempat ramai di media massa, pada kesempatan ini seluruh stakeholder di UNJ diminta duduk bersama dalam rangka mencari titik temu dan kesesuaian-kesesuaian yang tidak menguntungkan bagi UNJ.
"Akan lebih baik, apabila masalah yang ditimbulkan beberapa waktu lalu diselesaikan dengan cara sarasehan, karena kegaduhan dapat menimbulkan nama buruk bagi UNJ, dan fokus pada sarasehan ini ialah tentang regulasi. Kita tidak membahas siapa yang diusulkan tetapi membahas regulasi agar harmoni dan sinkron dengan peraturan yang ada," ungkap Prof Komarudin.
Sarasehan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi oleh Sofwan Effendi, Polaris Siregar, Prof Arif Satria, dan Prof Asep Saefudin. Sementara pada sesi kedua diisi oleh, Prof I Made Putrawan , Prof Ilza Mayuni, Ubedilah Badrun, dan Yusherman. Kedua sesi sarasehan dimoderatori oleh Prof Ucu Cahyana.
Prof Arief Satria mengatakan bahwa pihaknya sangat mengapresiasi acara dialog akademik yang dilakukan UNJ. Prof Arief juga mengatakan bahwa pemberian gelar doktor HC adalah hak otonomi kampus. "Namun tentu harus sesuai dengan peraturan hukum yang ada," ungkap Prof Arief.
Sementara itu Prof Asep Saefudin mengatakan bahwa setiap universitas dibenarkan secara hukum dalam pemberian HC. Akan tetapi harus ikutin peraturan dan syarat yang berlaku. "Acara UNJ ini sangat bagus sekali dalam membangun iklim demokrasi kampus," ujar Prof Saefudin.
Sementara itu, Mohammad Sofwan Effendi mengatakan dasar peraturan tentang memberi gelar Doktor (HC) meliputi UU Nomor 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 27), PP Nomor 4/2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, Permenristekdikti Nomor 65/2016 Tentang Gelar Doktor Kehormatan. Sedangkan yang berhak menerimanya bisa Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing dengan jasa luar biasa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi atau jasa di bidang kemanusiaan. Sedangkan untuk asing ialah dengan jasa dan/atau karya bermanfaat bagi kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Perguruan tinggi yang berhak memberikan gelar Doktor kehormatan ialah yang mempunyai program studi Doktor dengan peringkat akreditasi A atau Unggul. "Sedangkan untuk tata cara pemberian gelar Doktor Kehormatan diatur oleh masing-masing perguruan tinggi dan untuk sebutan gelarnya ditulis Doktor Honoris Causa," kata Sofwan.
Lebih lanjut, Polaris Siregar menambahkan bahwa tata cara dan pemberian Doktor diatur oleh masing-masing perguruan tinggi. Di dalam statuta, UNJ dapat memberikan gelar kehormatan kepada seseorang yang dianggap telah berjasa bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia dan peradaban. Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar kehormatan diatur dengan peraturan rektor setelah mendapatkan pertimbangan senat. "Ingat, hanya pertimbangan bukan persetujuan," katanya.
Untuk sanksinya, Menteri dapat mencabut gelar Doktor Kehormatan (HC) apabila tidak memenuhi persyaratan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri Nomor 65/2016. "Yang mengangkat adalah Rektor dan yang mencabutnya juga Rektor sesuai surat arahan dari Menteri," kata Polaris.
Dalam kesimpulan Sarasehan tersebut, Prof Ucu Cahyana menyampaikan bahwa pada prinsipnya kita semua mengikuti peraturan dan azas integritas dan kepatuhan sebagai perguruan tinggi yang sangat mengikuti tradisi akademik. "Dengan sarasehan kita dapat mencapai titik temu," kata Prof Ucu.