REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Kasus korupsi di Indonesia seolah telah menjadi pandemi yang tidak kunjung usai. Pemberantasan korupsi yang dilakukan sejak 1999, terus menerima serangan balik lewat upaya-upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra mengatakan, fenomena korupsi telah menyimpangi amanat reformasi. Dengan beberapa peristiwa seperti kegaduhan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), yang jadi titik terendah pelemahan KPK.
Hal ini dapat disebut sebagai warisan negatif Presiden Joko Widodo yang sulit dipulihkan. Menurut Azyumardi, ini dapat terjadi akibat adanya tindakan korupsi yang merambah tiga lembaga trias politika yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
"Upaya pelemahan KPK ini sebenarnya sudah dilakukan kurang lebih 10 kali, DPR berusaha untuk mengubah UU KPK, dan baru berhasil pada 2019 ini. Jadi, saya rasa sempurna sekali persekongkolan antara tiga lembaga ini," kata Azyumardi dalam diskusi yang digelar Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia (UII).
Selain itu, ia melihat, ini terkait ideologi pemerintah saat ini yaitu ideologi pembangunan-isme atau disebut juga dengan development mentalism. Dalam ideologi ini, korupsi dalam tanda kutip sah dilakukan asal tidak ada orang yang tahu.
"Hal ini yang kemudian menjadi penyebab munculnya anggapan bila lembaga-lembaga pemberantas korupsi kuat, maka akan menghambat proses-proses pembangunan," ujar Azyumardi.
Dosen Fakultas Hukum UII, Busyro Muqoddas menyebut, saat ini Indonesia menjadi negara kesatuan koruptor radikal Indonesia. Ada upaya sistemik melumpuhkan KPK karena penghambat mereka yang menjadikan pemilu dan pilkada tambang kekuasaan.
Ia menilai, ini ada kaitan dengan kesuksesan pemilu selanjutnya. Selain itu, upaya pelemahan KPK turut diiringi dengan tindakan hoax, mengubah dari awalnya KPK independen menjadi lembaga yang berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif.
Ditambah KPK disebut sebagai markas Taliban, yang dengan dalih ini pemerintah melakukan pembentukan pansel KPK untuk melaksanakan Tes Wawasan Kebangsaan. Serta, meruntuhkan anggota-anggota KPK yang selama ini miliki rekam jejak baik.
Pansel tersebut melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang kemudian menghasilkan pemecatan ke 57 anggota KPK. Parahnya, sampai saat ini, Presiden RI, Joko Widodo, justru memilih sikap diam dan melakukan pembiaran.
"Ini merupakan sebuah cacat kadar serius sebuah kepemimpinan," kata Busyro.
Mantan kabag perancangan peraturan dan produk hukum KPK, Rasamala Aritonang menambahkan, isu KPK bukan hanya personal, tapi kolektif yang jadi perhatian bersama. Sebab, perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilakukan jauh hari.
Melalui pembentukan tim satgas sampai komisi yang dibuat untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, berbanding lurus dengan pemberantasan korupsi, upaya-upaya pelemahan KPK semakin masif dan sudah dilakukan sejak 2005.
Hal ini dibuktikan dengan kasus Cicak vs Buaya jilid 1-3, revisi UU KPK 2019 sampai pemecatan 57 kader terbaik KPK melalui proses seleksi TWK. Rasamala berpendapat, dampak dari disahkan UU KPK setidaknya membuat tiga elemen.
Alih status pegawai KPK dari anggota independen menjadi ASN, dalam penanganan perkara penyadapan dan penggeledahan harus didasari izin dewan pengawas, dalam kelembagaan ada perubahan struktur organisasi yang tidak sesuai UU KPK.
Lembaga KPK yang bersifat independen, statusnya berubah menjadi di bawah rumpun kekuasaan eksekutif. Jadi, KPK harus mampu menunjukkan pemberantasan korupsi, tidak sekadar ada tanpa tunjukkan kemampuan atau di bawah penegak hukum lain.
"Kalau KPK sekadar ada, tanpa menunjukkan kemampuannya, bahkan di bawah penegak hukum lain, maka rasionalitas eksistensi KPK hilang dengan sendiri, kehilangan alasan harus ada KPK. Jika itu terjadi pasti kita rugi besar," ujar Rasamala.