REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto berpendapat, kemiskinan dan sifat malas tidak memiliki keterkaitan. Pernyataan tersebut sekaligus membantah pendapat bahwa orang jatuh miskin disebabkan sifat malas yang dimilikinya.
Menurutnya, kemiskinan lebih didorong faktor-faktor yang sifatnya struktural daripada kultural. “Kita terbiasa menghakimi orang yang miskin sebagai orang yang malas atau tidak mau bekerja keras. Padahal, jika kita lihat pengemis di pinggir jalan, panas-panas, pakai pakaian badut menari-nari. Itu kan pekerjaan yang berat sebetulnya,” tutur Guru Besar FISIP Unair tersebut, Selasa (26/10).
Jika dibandingkan, kata Bagong, pekerjaan di sektor informal bahkan lebih keras dari pada pekerjaan kelas menengah. Namun, karena ketidakmampuan pendidikan ditambah minimnya akses jaringan, memaksa kaum miskin untuk bertahan.
Mengutip sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia pada 2019 mengungkap, anak-anak dari keluarga miskin, ketika dewasa akan tetap miskin. Hal itu, kata Bagong, menunjukkan mata rantai kemiskinan memang sulit diputus.
“Karena keluarga miskin tidak memiliki modal ekonomi yang cukup dan tidak sekolah dengan baik, ujung-ujungnya dia kembali miskin. Peluang mereka untuk naik kelas tidak bisa ditembus karena tidak punya modal sosial dan ekonomi yang cukup,” kata Bagong.
Dekan FISIP Unair itu juga menyampaikan, selain faktor struktural yang tidak ramah, kebijakan pemerintah bersifat meritokratis. Dimana belum berpihak untuk melindungi si miskin.
Berbeda dengan yang terjadi di Kota Bontang. Pemda melarang waralaba seperti Indomaret dan Alfamart masuk. Hasilnya, usaha-usah kecil dari masyarakat setempat tumbuh.
“Kebijakan meritokratis itu intinya orang miskin diberi bantuan, soal bagaimana mereka bertahan hidup menghadapai struktur yang kompetitif terserah pada semangatnya orang miskin,” katanya.